Pena dan Pengadilan

Cerpen : Andra S Kelana

DI halaman depan harian Metropolis tentang kasus koruptor seorang pejabat pemerintahan daerah, ditulis tuntas dari atas sampai ke bawah oleh wartawan senior di bidang kriminalitas bernama Kenedy. Wartawan veteran yang melalang buana dari satu media ke media lain, telah meliput berbagai berita kriminalitas di tanah air. Tak mengherankan, jika Kenedy dijuluki hunter crime oleh kalangan wartawan.

Berperawakan pendek dan gempal ini, memiliki nama asli Ahmad Fikram. Tapi, entah mengapa dia senang dipanggil Kenedy atau lebih singkat lagi Mr Ken (mungkin karena kode beritanya KEN). Atau memang, dia fanatisme dengan Presiden Amerika Serikat John F Kenedy. Atau Entahlah...! Mr Ken memiliki beberapa orang pacar. Mulai dari wanita malam (wanita tuna susila). Janda kembang, bahkan kalangan selebritis pun dia pacari. Begitulah kehebatan Ken terhadap sekujur tubuh wanita. Tak mengherankan, di mana tempat dia bertugas, Mr Ken selalu memiliki pacar.
Padahal. Kalau melihat tampangnya biasa-biasa saja. Pendidikannya hanya tamatan SLTA, itu pun sekolah swasta. Tapi, entah mengapa, dia begitu istimewa di hadapan wanita-wanitanya. Apalagi berkencan. Ken, selalu diacungkan jempol. Jago, wanita.
Mr Ken, punya motto kehidupan. ''Kejahatan adalah bagian daripada kehidupan''. Tak heranlah, ratusan pelacur kota metropolis seperti Jakarta ini, kenal dengan Mr Ken. Bandar narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba), sindikat perdagangan wanita, sudah biasa dengan Ken. Pub-pub, karoeke, diskotek, menjadi teman hidupnya.
Wartawan yang pernah meliput ketika meletus perang Irak-Iran ini, dikenali menyimpan ratusan data kejahatan di kota Metropolitan. Terutama kasus narkoba, perdagangan wanita, maupun sindikat pencurian kendaraan roda empat. Buku harian Ken yang hanya boleh tahu dirinya sendiri tersimpan nama-nama sindikat obat terlarang, perdangan wanita, pencurian kendaraan bermotor.
Jika kepolisian menangkap agen-agen narkoba, Ken lebih dahulu mendapatkan informasi. Karena dia lebih cekatan di lapangan, jika dibandingkan dengan polisi. Apalagi, kalau polisi itu sudah veteran. Tak sedikit pun cacat, dibadannya tiap meliputi kasus kejahatan. Tapi, akibat goresan tinta hitam Ken, membuat polisi runsing tak kepalang tanggung.
Sebab, ketika polisi akan mengembangkan kejahatan, Mr Ken lebih dahulu menguraikan dalam korannya, siapa-siapa saja sindikat perdagangan obat maupun wanita. Dia menulis tuntas, kasus tersebut. Sehingga polisi harus kerja ekstra untuk menangkap bandar-bandar yang telah lari akibat tulisan Ken. ''Ini tugas jurnalistik Pak Polisi. Jangan saya dihalang-halangi..!'' ungkap Ken suatu ketika kepada polisi yang menyuruhnya agar tidak menulis begitu tuntas.
Dampak dari sikapnya pasti ada. Ketika memasuki tiap kantor polisi di kota ini, sudah terpampang tulisan warna merah, ''Stop Mr Ken''. Artinya, kaki Mr Ken diharamkan untuk menginjakan di kantor pelayanan masyarakat. Tapi, bagi Ken itu tidak masalah.
Kenapa! Prinsip Ken, kejahatan adalah bagian dari hidupnya. Selagi dia hidup, maka dia bisa menulis tentang kejahatan. Jika tidak ada polisi, masih ada sumber di lapangan. Itulah tegas dan tangguhnya Ken. Ketika perampokan terjadi, Ken sudah mengetahui, siapa yang melakukannya. Siapa korban dan dari sindikat mana yang melakukan perampokan. Sementara polisi, ketika ditanya wartawan lain, selalu menjawab masih dalam penyelidikan. ''Itu bahasa konyol!'' lengking Ken.
Sehingga, dalam pemberitaan Ken, tidak pernah menuliskan nama seorang polisi untuk mendapatkan konfirmasi. Dia hanya menuliskan data lapangan dan sumber korban. ''Untuk apa polisi, kita sudah melihat kejadian di depan mata kepala sendiri,'' katanya. Karena akurasi data lapangan, tulisannya selalu menjadi bahan perbincangan tiap polisi melakukan gelar operasional (GO) di depan para staff. Guntingan koran Ken menjadi acuan.
***
MR KEN, si wartawan yang memiliki tiga orang istri dalam satu kota ini benar-benar memegang teguh yang namanya sumber berita ataupun off the record. Biar pun sampai ke tiang gantungan. Ataupun kepalanya didor dengan timah panas, dia tetap mempertahankan sumbernya. Dalam halnya kasus koruptor pejabat daerah.
''Saudara Ahmad Fikram alias Mr Ken...! siapa sumber Anda, sehingga Anda begitu berani menurunkan tulisan tentang koruptor pejabat daerah,'' tanya hakim Marsudi SH kepadanya.
''Maaf Pak Hakim...! Saya rasa bapak tahu kode etik jurnalistik, bahwa sumber itu tidak boleh saya katakan, walaupun saya berhadapan dengan hakim sendiri,'' jawab Ken. ''Baik..! Saudara Ken, darimana Anda mendapatkan data koruptor ini?'' tanya hakim lagi.
''Sudah saya katakan Pak Hakim. Dan Anda tentu tidak buta huruf untuk membaca tulisan dalam koran itu. Data kasus koruptor itu saya peroleh dari seorang sumber yang kuat dan akurat. Sekali lagi saya tegaskan, saya masih tetap mempertahankan siapa sumber saya itu,'' jawab Ken sambil memperlihat tulisan di korannya.
''Baik...! Anda memang seorang wartawan sejati, berani mempertahankan sumber, walaupun Anda harus dituntut miliaran rupiah atau pun di penjara,'' ''Terimakasih Pak hakim, Anda telah memuji saya. Tapi pujian itu tidak berarti bagi saya,'' ketus Ken bersahaja.
''Sampai hari ini sudah delapan kali Anda bersaksi di pengadilan ini, dan Anda merupakan saksi kesembilan dan saksi kunci dalam kasus ini. Tapi, Anda masih bersikukuh mempertahankan sumber Anda,'' jelas hakim.
''Hari ini, Anda tidak hanya sebagai saksi, tetapi terdakwa, sesuai dengan tuntutan pejabat pemerintah daerah, bahwa Anda telah mencemarkan nama baik pejabat. Baiklah, sidang kami tunda dua hari lagi untuk mendengarkan vonis,'' kata ketua hakim, dan ''tuk.. tuk.. tuk,'' hakim mengetuk palu tiga kali pertanda sidang ditutup.
***
MENJELANG dua hari sidang terakhir untuk saksi kesembilan Mr Ken, bahkan menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik, koran-
terus menulis berita, biodata Ken, keteguhan hati dan tanggungjawab Mr Ken. Biasanya, Ken menulis berita kriminalitas, sekarang justru Ken yang ditulis dalam kasus kriminalitas.
''Saudara hadirin...! Sidang saksi kesembilan atas nama Mr Ken, kasus koruptor pejabat daerah, hari ini kami buka,'' kata hakim. ''Tuk... tuk... tuk,'' hakim mengetuk palu tiga kali, 
pertanda sidang dimulai. ''Apa Anda sehat hari ini Mr Ken?'' tanya hakim. ''Saya tidak pernah sakit Pak Hakim,'' jawab hakim. Sidang ramai dikunjungi orang maupun wartawan, langsung mendapat aplus. ''Pukkk... pukkk...puk...'' tepuk tangan pengunjung. ''Setelah melalui persidangan dan beberapa kali tuntutan, maka hari ini majelis hakim akan membacakan vonis Anda. Apakah Anda sudah siap mendengarkan vonis?'' tanya majelis hakim. ''Saya katakan sudah siap, tanpa dipengaruhi siapa pun,'' jawab Ken. ''Baiklah. Setelah melalui persidangan beberapa kali dan mendengarkan keterangan beberapa saksi dalam kasus ini, maka Anda telah menghina dan mencemarkan nama baik. Anda telah melanggar KUHP Pasal 310,'' ''Bunyi Pasal 310,'' jelas hakim. ''Barangsiapa dengan sengaja menyerang, kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduh itu supaya diketahui umum, karena bersalah menista orang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan
bulan atau denda sebanyak-banyaknya empar ribu lima ratus rupiah. Apakah Anda menerima keputusan ini?'' tanya hakim. ''Saya tidak menerima keputusan itu Pak Hakim. Saya atas nama pribadi dan tidak didampingi pengacara, saya melakukan pembelaan,'' jawab Ken. ''Silakan Anda melakukan pembelaan,'' kata hakim. ''Dari awal sidang sudah hendak saya katakan, tapi selalu tidak diberi kesempatan, karena saya terus dicerca berbagai pertanyaan. Sebenarnya, kenapa tertuduh dalam kasus korupsi ini tidak membuat hak jawab. Kalau tidak melakukan penggelapan dana proyek, silakan membantah akan saya buat, sepanjang yang saya tulis dan letaknya sama,'' ''Penawaran hak jawab itu sudah saya sampaikan kepada tertuduh. Tapi, meraka tidak mau. Mereka ingin pembuktian kebenaran itu di pengadilan. Jadi, pembelaan saya adalah, silakan tertuduh membuat hak jawab,'' jelas Mr Ken. Mendengar penjelasan Mr Ken, tersentaklah majelis hakim. Mereka bolak-balik berkas berita acara pemeriksaan memang benar. Tak satupun berkas menguraikan tentang hak jawab. Pembelaan tertuduh. ''Baiklah..! sidang kami skor 15 menit. Hakim mau bersidang,'' kata hakim. Pengunjung kagum, atas keberanian dan ketenangan si pemburu berita ini. Ada yang mendekati Ken, dan memberikan salam. Ken tenang-tenang saja. Setelah lima belas menit hakim berdiskusi, maka sidang pun dibuka kembali terbuka untuk umum. ''Sidang kami buka kembali!'' kata hakim. ''Tuk...Tuk.. Tuk'' ''Setelah mendengar pembelaan saksi sekaligus menjadi terdakwa dalam Pasal 310, maka majelis hakim memutuskan...!'' hakim terhenti sejenak. Pengunjung diam. Ruangan sidang menjadi sepi dan senyam. Detak-detak jantung pengunjung seakan-akan terdengar, apa keputusan hakim. ''Hakim memutuskan...! vonis untuk saudara Ken dicabut. Kami beri kesempatan kepada tertuduh memberi hak jawab kepada koran Mr Ken,'' kata hakim. ''Tuk...tuk..tuk,'' Bagaikan hendak runtuh ruangan sidang pengadilan kota metropolis. Pengunjung bersorak-sorai memberi tepuk tangan. Ada yang berteriak hidup Mr Ken...! ada juga berteriak. Hidup Pak Hakim....!. Ken meneteskan air mata. Dia sedih, bukan karena bisa lepas dari jerat hukum. Tapi dia sadar, bahwa tidak enak menjadi seorang terdakwa ataupun penjahat. Meskipun prinsif hidupnya, kejahatan adalah bagian dari hidupnya. ***

0 comments: