Kecubung Hitam

Cerpen : Andra S Kelana

AKU pun heran. Entah ke mana para tukang batu itu hilang tak tercatat dalam sejarah. Kepergiannya bagaikan burung gagak hitam terbang ke langit biru lalu menghilang, di celah-celah awan hitam.
Kadang kalanya aku tak habis berpikir, kenapa sejarah begitu kurang adil, sehingga si tukang batu pun tidak dicatatnya. Toh, suatu ketika orang memerlukan dirinya. Suatu saat orang memerlu kan ilmu perbatuannya, di manakah orang akan mencarinya?.
''Seperti aku sekarang ini. Ke mana kah engkau hai tukang batu!'' seru Ramli.
Atau sejarah akan menyuruh orang-orang mencari ke sungai Barito, Sungai Siak, Sungai Mahakam, Musi atau sungai-sungai yang ada di Indonesia, tempat di mana si tukang batu itu sering mendulang. Atau, sejarah akan menyuruh orang-orang menanyakan setiap pemilik toko yang menjual batu permata. Keterlaluan.
Ah! Itu tidak mungkin. 'Perburuan' mencari si tukang batu, akan menghabiskan sisa-sisa umur. Dan ini semuanya kesalahan pelaku sejarah yang tidak kongkrit mencatat, ke mana perginya si tukang batu itu.
''Aku memutuskan tidak akan mencarinya lagi,'' ungkap Ramli.
Dia tersadai di bawah pohon beringin yang rindang. Lelah, berkilometer jalan yang ditempuhnya, lewati rintangan, hanya untuk mencari si tukang batu yang pernah dia jumpai lima tahun lalu, di Pekanbaru.
Ribuan akar pohon beringin terjuntai, melindungi sekujur tubuh Ramli. Lelaki 30 tahunan ini, hanya bisa menatap burung layang-layang berdansa, dari pohon beringin ke kabel-kabel listrik berkekuatan ribuan volt, berdekatan dengan pohon itu.
''Aku telah membuat kesalahan besar!''. Ramli memaki dirinya, mengenang tentang kesalahan lima tahun lalu. Ketika dia berjumpa dengan si tukang batu, dan menawarkan dirinya batu kecubung hitam.

***
Di luar tidak ada daun-daun gugur. Di luar tidak ada hujan lebat, yang membanjiri jalan protokol, atau menenggelamkan rumah-rumah kumuh di pinggiran sungai. Meskipun tak ada daun gugur, hujan yang turun, tapi hati Ramli bagaikan hendak gugur.
''Bagaimana Ram! apakah sudah engkau dapatkan batu kecubung hitam itu?'' tanya Umar Pandegerot. Pengusaha kayu balak terkenal di kota Ramli saat itu. Umar yang mengantongi izin pengelolaan kayu, terus membolak-balik buku tentang perbatuan yang dia peroleh dari temannya di Thailand.
''Belum!''. Ramli hanya bisa berkata demikian.
Hening. Ramli maupun Umar tidak mengeluarkan sebait kata-kata. Di ruangan ukuran lima kali lima meter itu, hanya terdengar, deburan angin yang keluar dari mesin pendingin air conditioner.
Lelaki itu menutup matanya, tetapi tidak tertidur. Tangannya masih memegang buku bersampul hitam, bertuliskan ''batu permata''. Kening berkerut, tampaknya sedang memikirkan sesuatu yang
sangat berat.
''Aku berpikir. Engkau tak akan memperoleh batu itu''. Umar memecahkan kesunyian ruangan yang kedap suara. Di dindinginya tergantung gambar seorang proklamator Indonesia, Bung Karno lagi berorator.
Ramli terperangah. Dia meraba tangannya. Terasa dingin sekali. Telinganya bagaikan pekak, tak terdengar apa yang diungkapkan Umar selanjutnya. Pikirannya menerawang menembus plafon gedung
berlantai 12 itu.
Di awang-awang, dia bagaikan melihat lelaki tua yang pernah dia jumpai lima tahun lalu. Lelaki ubanan menawarkan sebutir batu berwarna hitam. Katanya kecubung hitam, seharga dua puluh lima ribu rupiah. Tidak percaya. Saat itu Ramli benar-benar tidak percaya tentang batu.
Syirik. Pamalik, kalau percaya tentang batu. Dalam ajaran Islam pun melarang umatnya percaya dengan batu-batuan. Apalagi sampai menyembah batu, hukumnya dosa besar.
Begitu juga Ramli. Berbekal ilmu agama yang pernah dia peroleh di sekolah madrasyah waktu kecil-kecil dulu, maka dia menolak membeli batu berwarna hitam. ''Jangan-jangan ini batu petir, atau pun batu kali yang bapak asah.'' Ramli berkata kepada si tukang batu saat itu.
''Tidak nak. Ini benar-benar batu kecubung hitam. Bapak menjualnya karena hendak pulang ke Kalimantan Selatan. Tempat lahir bapak. Kecubung ini banyak faedahnya, kalau anak memakainya.'' si tukang batu itu menawarkan kepada Ramli.
''Maaf Pak! Saya tidak percaya pada batu. Saya percaya pada Tuhan!'' Ramli berlalu, menembus debu-debu jalanan.

***
''Bagaimana Ram! apakah engkau akan mengakhiri pertualangan mencari si tukang baru, yang pernah engkau ceritakan padaku,'' kata Umar, menyentak hayalan Ramli.
''Belum. Aku akan terus menyuruh sungai-sungai mencarinya. Jika perlu aku pergi ke Kalimantan Selatan, menyusuri Sungai Barito, menemukan batu kecubung hitam,'' kata Ramli.
''Kapan engkau berangat?''
''Secepatnya. Jika perlu besok aku sudah terbang ke Kalimantan
Selatan,'' Ramli masih bersiteguh untuk tetap memperoleh batu itu.
''Baiklah. Ini tiket pesawat Garuda pulang-pergi. Semoga engkau sukses dalam 'perburuan' di kota Indonesia bagian tengah,'' ungkap Umar Pandegerot sambil menyerahkan empat lembar tiket Garuda kepada Ramli.

Pesawat Garuda menderu meninggalkan bisingnya kota Pekanbaru. Ramli yang berada di dalamnya hampir-hampir tak mendengar lagi apapun, selain bising deru mesin 'si burung besi itu' meraung-ruang ke langit jingga.
Wajahnya terbesit kecemasan mendalam. Mengenang tentang tragedi jatuhnya burung-burung besi, seperti yang terjadi di Pulau Jawa, maupun di Pekanbaru sendiri. ''Aku berserah diri kepada mu Ya Allah.'' Doa Ramli dalam hati.
Si cantik sang pramugari yang menyuguhkan makanan, membuat waktu tak begitu terasa satu jam dua puluh menit, pesawat terbang di udara. Dan sebentar lagi, pesawat akan mendarat di Bandara Cengkareng, Jakarta.
Transit di Ibukota Jakarta, Ramli meneruskan perjalanan ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang menghabiskan waktu satu jam dua puluh enam menit dengan pesawat Garuda. ''Moga aku mendapatkan batu kecubung hitam itu''. Ramli berkata pada dirinya.
Singkat cerita. Ramli sudah menapakan kakinya di kota Banjar. Kota dikenal dengan hasil hutannya yang dikelola oleh Bob Hasan. Kota yang pernah gagal dalam proyek pemetakan sawah pada era rezim Soeharto memimpin, untuk swasembada beras di Indonesia.
Ramli bengong. Di Hotel Mentari yang terletak di tengah-tengah kota, membuat matanya tak bisa katup, seperti bunga-bunga di taman. Lalu lalang perempuan malam yang menjajakan tubuhnya. Hentakan keras musik diskotek di lantai enam, membuat matanya tambah tak bisa terpejam.
Di kamar tidur, kegelisahan terus menghantui dirinya. Bolak-balik di kasur empuk seperti orang yang ingin mematangkan ikan. Suhu badannya terasa panas, walaupun ruangan sudah disediakan mesin pendingin.
''Besok. Ya, besok aku mulai mencari, apa yang diinginkan oleh Umar.'' Ramli menatap langit-langit kamar hotel, bagaikan menatap sebutir batu kecubung hitam. Matanya sudah semakin sayu, lunglai, lalu terkatup.

***
Ramli tersentak. Bias warna merah, yang terpancar dari celah gorden sedikit tersingkap di kamar itu, mengelus bola matanya berwarna merah. Warna merah itu juga menggoyangkan tubuhnya, untuk segera melanjutkan perburuan. Siap. Ramli sudah siap.
Dengan menyewa taksi hotel, Ramli meneruskan perjalanan sejauh 60 kilometer dari kota Banjarmasin, terletak di bagian Barat. Kota tersebut bernama Martapura, salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan.
Siapa yang tak kenal dengan Martapura, yang dijuluki kota berintan. Setiap orang datang pasti menyempatkan diri ke kota ini, untuk membeli-beli batu permata, seperti batu akik, virus, merah delima, zambrud, yakup kuning, berlian, intan, kecubung, blue sapir, rugby dan segala macam jenis perbatuan.
''Pian (kamu, red) hendak mencari batu apa?.'' Supir taksi bertanya kepada Ramli dengan sedikit logat banjar, setelah sampai di Pasar Niaga Baru, Martapura Kalimantan Selatan.
''Aku ingin mencari batu kecubung hitam,'' ungkap Ramli bersemangat.
''Itukah..! kenapa mencari batu kecubung hitam. Padahal, kalau orang datang ke sini pasti mencari batu Zambrud, Rugby, Yakup Kuning, Intan, Berlian. Kenapa pian mencari batu kecubung. Itu kan batu murahan,'' kata supir taksi.
''Bukan untuk saya. Tetapi untuk teman saya. Dia ingin sekali mencari batu kecubung hitam itu,'' jawab Ramli. Padahal Umar orang kaya, kenapa tidak membeli batu Zambrud yang mahal harganya. Dan kalau dipakai pasti menambah kewibawaan.
Ramli berputar-putar dari toko satu ke toko yang lain. Namun, batu yang dia cari belum juga dapat. Keputusasaan, mulai merona di wajahnya yang agak gelap. Ramli kembali teringat wajah si tukang batu lima tahun lalu yang pernah dia jumpai di emperan jalan, menawarkan sebutir batu.  ð 7 3 
Š ''Mencari batu nak!'' tegur seorang pria separoh baya, di sebuah kios kecil diujung komplek kios-kios yang menjual perbatu an.
Ramli tersentak. Wajah lelaki di depannya itu memecahkan bongkohan batu karang di hatinya. Wajah lelaki berkopiah hitam itu, menghalau ketakutan akan ketidakberhasilnya mendapatkan batu kecubung hitam. ''Terimakasih Tuhan.'' kata Ramli.
''Saya ingin melihat batu kecubung hitam.'' Ramli terus memandang pria itu. Dari sorot matanya, mengingatkan kembali akan wajah pak tua yang pernah menawarkan batu kepada Ramli.
Bergegas si penjual batu mengeluarkan empat butir batu berwarna hitam. Persis yang pernah ditawarkan kepada Ramli lima tahun silam.
''Pak! apa manfaat batu ini? Ramli bertanya.
''Orang bilang, siapa yang memakai batu akan menjadi berwibawa. Sebab, batu ini akan memberikan kharisma kepada si pemakainya.''
''Namun nak''.
''Kita ini orang Islam, orang beragama, tak boleh percaya dengan batu-batuan, hukumnya sirik, dosa besar. Dan Allah murka kepada orang yang memuja batu.'' kata si penjual batu itu.
Ramli tersentak. Kata-kata seperti itu pernah dia lontarkan kepada si penjual batu lima tahun silam. Dan kata-kata itu justeru dia tuai kembali. Siapa menabur angin, dialah yang akan menuai badai. Begitulah ungkapan Bung Karno. Dan ini terjadi pada Ramli.
''Benar Pak. Kita tak boleh percaya pada batu. Namun demikian, saya tetap akan membeli batu itu, berapa harganya Pak?'' tanya Ramli.
''Untuk anak saya jual seratus ribu rupiah per butirnya. Itu sudah murah. Batu ini sulit memperolehnya, kalau tidak pandai mendulang,'' kata si penjual batu itu.
''Baiklah Pak. Saya akan beli empat butir batu itu. Tapi saya ingin menanyakan sesuatu?'' ungkap Ramli.
''Pian mau tanya apa?''
''Apakah bapak pernah pergi ke Riau?''
''Riau! tidak saya tidak pernah pergi ke Riau. Memangnya kenapa nak.''
''Ah..! tidak apa-apa''. Ramli menjawab terbata-bata.
Setelah mendapatkan empat butir batu kecubung hitam, Ramli langsung menelepon Umar.
''Saya sudah mendapatkan batu kecubung hitam itu,'' kata Ramli.
''Oh ya.. baguslah!. Tapi, saya juga sudah memperoleh batu kecubung hitam itu dari seorang pak tua si penjual batu. Harganya murah, hanya dua puluh lima ribu per butirnya. Tapi, tak apalah, cepatlah engkau pulang ke Pekanbaru, biar batunya bisa aku beri kepada teman-teman,'' kata Umar.
Tersentak. Kaget, seluruh badannya lemas mendengar kata-kata seorang pak tua si penjual batu.
''Ya..! saya akan pulang besok.'' tak sadar, gagang telepon terlepas dari tangan Ramli. ***

1 comments:

Cantika said...

mantap juga kecubung hitam.
batu kecubung juga ternyata banyak jenisnya dan khasiat batu kecubung juga dianggap bermanfaat, terutama batu kecubung asihan yang banyak dicari orang untuk pengasihan, karena itulah banyak orang yang sengaja mengoleksi jenis jenis batu kecubung, walaupun harga batu kecubung memang masih terjangkau.
ada juga yang mengoleksinya sebagai batu permata kecubung untuk cincin akik, karena itulah penambang jenis batu akik kecubung juga mulai banyak yang menjual dengan harga yang murah. namun untuk harga batu kecubung asli tetaplah mahal dibandingkan dengan harga batu akik kecubung. terima kasih atas infonya
saya juga ingin berbagi info seputar batu kecubung DISINI>> batu kecubung asli