Nonton Ayat Ayat Cinta

BEBERAPA hari ini wajah Cik Minah sengaja ditampilkan muka masam, terutama ketika bersua dengan lakinya Cik Amat, yang hari-hari belakangan ini sibuk dengan pekerjaannya. Perangai tak sedap dipandang mata ini, menimbulkan tanda tanya besar dalam hati Cik Amat.
‘’Ada ape pulak gerangan bini aku ini?’’ gumamnya dalam hati.
Karena tak tahan menerima perlakuan bininya seperti itu, Cik Amat pun langsung bertanya.
‘’Oi Minah, nape pulak muke awak tu masam, macam kena sambal belacan saje. Laki letih balek kantor, bukan disambut dengan wajah manis. Kualat tahu..?’’ tanya Cik Amat kepada bininya. Namun, Cik Minah tetap diam seribu bahasa. Hal seperti inilah yang selalu membuat tensi darah Cik Amat naik sampai 160.
‘’Abang tu.. dah beberapa kali saye ajak nonton film Ayat Ayat Cinta, abang selalu menolak. Pedas telinga saye mendengarkan cerita tetangga tentang film tersebut,’’ kata Cik Minah.
‘’Si Romlah saje, dah dua kali menonton film itu. Abang saye ajak tak mau pergi,’’ ungkap Minah lagi.
‘’Abang bukan tak mau pergi menonton, tapi tak suka dengan film itu. Tapi, kalau engkau lah macam kesetanan nak menonton, ayolah, petang nanti kita pergi ke studio itu,’’ jawab Cik Amat.
Mendengar itu, Cik Minah pun langsung senang hati. Dia pun bergegas, ke kamar mempersiapkan diri, mempercantik diri.

***
Tut…Tut.. sepeda motor buntut Cik Amat melaju menuju ke Nagoya. Sementara, selendang Cik Minah, meliuk-liuk ke kanan dan kekiri kena terpaan anggin.
‘”Cepat dikit nape bang. Pelan betul, macam tak sampai rasenya,’’ ucap Minah dari belakang. Tak mau perang mulut, Cik Amat pun menaikan gasnya. Beberapa menit kemudian mereka berdua tiba di parkiran. Cik Minah langsung bergegas masuk ke mall dan naik lift menuju ke studio.
Setelah membeli tiket, mereka pun langsung masuk ke studio yang telah ditentukan. Selama dalam studio, Cik Minah begitu antusias menonton film Ayat Ayat Cinta. Setiap frame to frame perubahan scane film, disimaknya dengan baik. Sedangkan Cik Amat bukannya menonton, tetapi malah mendengkur, hal ini membuat kesal Minah, karena berada dalam studio, tak mungkin berperang mulut dengan lakinya.
Hampir dua jam berada dalam studio, akhirnya pertunjukan film Ayat Ayat Cinta tamat. Cik Minah keluar studio dengan wajah masam. Sementara Cik Amat keluar studio dengan wajah ceria, segar bugar.
‘’Sedap betul aku tidur tadi. Habis sejuk betul. Maklumlah rumah kitekan tak ade AC, jangan tidurnya tak begitu nyenyak,’’ ungkap Cik Amat.
‘’Jadi macam mane film yang engkau tengok tadi. Bagus tak jalan ceritanya?’’ tanya Cik Amat kepada Cik Minah.
‘’Bagus juga lah..!’’ jawab Cik Minah ketus, bukan ceria.
‘’Eeh.. kenape pulak jawabannya ketus begitu, bukannya engkau macam kesetanan ingin menontonya. Nape pulak jadi tak sedap hati,’’ ejek Cik Amat.
‘’Malas saye tak cerita, bagus kita balek saja,’’ kata Cik Minah.
‘’Ceritelah dikit.’’
‘’Taklah, awak ni nak membesing saje.’’ Ketus Cik Minah.
‘’Ceritelah, saye kan tetidur tadi,’’ ejek Cik Amat.
‘’Tak.! Kalau saye bilang tidak, ye tidak.’’ Ungkap Cik Minah.
‘’Itulah..! nape abang tak mau pergi menonton film same awak tu, karena jalan ceritanya mengisahkan seorang istri yang baik hati dengan lakinya,’’ jelas Cik Amat.
‘’Baik hati ape!’’
‘’Itu..istrinya menyuruh lakinya kawin (nikah lagi), bukankah istri yang baik. Bagusnya awak pun macam itu juga, suruh lagi laki nikah laki, biar dapat madu…,’’ ungkap Cik Amat sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Mendengar celoteh Cik Amat, bertambah kesalnya hati Cik Minah. Selama ini yang dia dengar dari Romlah dan tetangga lainnya hanya jalan cerita kesedihan tokoh utama dalam film tersebut, tetapi tidak menceritakan bagaimana tentang poligami. Tanpa sepatah kata pun Cik Minah langsung menuju ke tempat parkiran dan minta segera pulang.
Cik Amat, merasa menang, pulang dengan riang, sambil melantunkan lagu legendaries P Ramle dengan judul ‘’Madu Tiga’’.

Oi.. senangnya dalam hati,
bila beristri due …


Yang baca berpahala..

Satu Lagi Anugerah


IKATAN Motor Indonesia (IMI) Kepri ketika melaksanakan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) di Batam, menganugerahkan penghargaan IMI Award 2008 kepada Batam TV, televisi lokal pertama di Kepri ini, sebagai media yang selalu berpartisipasi dalam pengembangan olahraga otomotif di Kepri. Selain Batam TV, IMI juga memberikan anugerah yang sama kepada media cetak, pengusaha dan sponsorship.
Penghargaan seperti ini, merupakan untuk kedua kalinya diterima Batam TV. Sebelumnya KONI Kepri juga memberikan anugerah yang sama, atas komitnya televisi lokal ini memberitakan olahraga lokal.
Penghargaan IMI Award yang diserahkan oleh Dinas Perhubungan Batam mewakili Pemko Batam di salah satu hotel bilangan Nagoya langsung diterima Pemimpin Redaksi Batam TV Andra S Kelana. Dalam kesempatan tersebut, Andra mengucapkan terimakasih kepada IMI yang telah memberi Award kepada Batam TV.
‘’Kami mengucapkan terimakasih kepada IMI Kepri yang telah memberikan kami Award. Dan dengan penghargaan ini, kami berupaya untuk meningkatkan pemberitaan dibidang olahraga dan prestasi atlit lokal, tidak hanya otomotif, tetapi semua cabang olahraga,’’ katanya.
Andra mengatakan, sampai hari ini tim redaksi Batam TV tetap komitmen untuk memberitakan kegiatan dan event olahraga lokal, apalagi saat ini, redaksi memiliki program ‘’Batam TV Sport’’ yang ditayangkan setiap hari Minggu pukul 21.00 WIB dan disiarkan ulang pada hari lainnya, merupakan program yang mengangkat prestasi dan kegiatan olahraga di daerah ini, asalkan masyarakat menginfokannya terlebih dahulu.

Yang baca berpahala..

Sarapan Sambil Cerita F1 dengan Pak Wali

MAAF, bukannya saya bangga sarapan bersama dengan walikota. Bagi saya, sarapan, makan malam, bahkan makan duduk satu meja dengan pejabat di rumah pribadi, merupakan hal biasa bagi saya–maaf sekali lagi, agak menyobong diri--, karena semuanya masih berhubungan dengan tugas jurnalistik saya.

Begitu juga, Selasa pagi, saya dan teman-teman memang lagi memproduksi program LEPAT –Lepas Penat Bang Dahlan—program khusus yang selama ini sudah tayang di station dan temanya adalah ‘’dua tahun masa kepemimpinan walikota Batam Ahmad Dahlan-Ria Saftarika’’.
Setelah produksi shotting yang menghabiskan waktu hampir 90 menit, Walikota Ahmad Dahlan, langsung mengajak semua kru, maupun staff Pemko Batam sarapan di restoran KTM Tanjungpinggir Sekupang.
‘’Ayo kita sarapan sama-sama, udah lapar, karena saya juga belum sarapan,’’ begitulah ungkapan walikota Batam. Memang ada benarnya, tim produksi harus bangun pukul 05.00 wib dan harus berada di KTM Tanjungpinggir Sekupang pukul 07.00 wib untuk persiapan produksi yang dimulai pukul 07.30 WIB.
Nah, saya bukan mau menceritakan bagaimana proses makanan bersama walikota, bagaimana harus duduk, atau tata cara makan bersama pejabat, tetapi ketika saya duduk satu meja, banyak hal-hal yang dibicarakan, terutama masalah Visit Batam Year 2010, tahun kunjungan pariwisata Batam. Apatahlagi, Batam merupakan pintu gerbang kunjungan wisatawan nomor tiga di Indoensia setelah Bali, dan Jakarta, tentunya pemerintah banyak berharap dengan Pemko Batam untuk meningkatkan devisa negara dibidang pariwisata.
Walikota juga menceritakan bagaimana kehebatan Singapura menjadi tempat pertandingan Formula-1 (F1) padahal Singapura tidak memiliki sirkuit, tetapi cukup mengandalkan sirkuit jalanan, yang dipertandingkan pada malam hari. Kemudian, Singapura juga tempat Asean Broadcast and Asean Summit, dan ditambah lagi, Singapura akan menjadi tuan rumah Olympiade Pemuda. Banyak lagi event-event besar yang dilakukan oleh Singapura untuk menarik orang datang ke negeri itu.
Ahmad Dahlan dengan semangat mengatakan, pelaksanaan F1 di Singapura nanti, Batam akan mendapatkan tempias. Yaitu, orang-orang akan menginap di Batam selama beberapa hari, karena kamar hotel di Singapura sudah habis terjual. Angkanya sangat mengggiurkan, Pemko Batam maupun Batam Promotion Tourism Board (BPTB) menargetkan sedikit 8 ribu hingga 10 ribu orang yang tidak dapat hotel di Singapura akan menginap di Batam, makan, berbelanja, money changer di Batam. Tentunya perputaran uang pada saat itu sangatlah tinggi.
Jika satu orang penonton F1 Singapua yang menginap di Batam menghabiskan uang paling sedikit Rp2 juta –biaya hotel, transportasi, seaport tax, makan, entertainment--, maka perputaran uang selama beberapa hari di Batam sebanyak Rp2 miliar, berapa pajak daerah yang berhasil diraup.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana kesiapan Pemko Batam dalam menghadapi kunjungan turis yang begitu banyak, terutama bagaimana persiapan para pengusaha hotel, keamanan para turis lokal dan macanegara, safety transportasi laut. Kemudian, apakah Pemko maupun pemerintah Indonesia tidak membuat kebijakan khusus dengan membebaskan berbagai macam pajak, seperti viskal atau visa on arrival, sehingga penonton F1 Singapura lebih tertarik lagi untuk datang ke Batam.
Kemudian, apakah Pemko tidak membuat event tambahan yang membuat orang lebih menarik lagi untuk menginap ke Batam, daripada menginap di Johor Bahru Malaysia yang juga dekat dengan Singapura. Sebab, sampai hari ini saya tidak melihat promosi luar biasa yang dilakukan oleh Pemko Batam agar orang lebih tertarik lagi untuk datang ke Batam.
Sebab, saingan Batam bukanlah Singapura, tetapi adalah Johor Bahru Malaysia yang juga dengan Singapura. Johor Bahru juga tidak tinggal diam begitu saja. Dan tidak menginginkan kesempatan emas ini pindah begitu saja ke Batam. Peluang besar ini akan mereka rebut.
Informasi yang saya peroleh Pemerintah Johor Bahru juga sudah mempersiapkan event besar, fasilitas khusus kepada penonton F1 Singapura agar menginap di Johor Bahru, meskipun ada kesan bahwa melintasi perbatasan Johor Bahru-Singapura akan diperketat. Namun pemerintah Johor Bahru bertekad agar hotel-hotel di sana penuh, bahkan untuk perhelatan Olympiade Pemuda beberapa tahun mendatang, Pemerintah Johor Bahru dengan Pemerintah Singapura sedang membuat MoU. Bagaimana dengan Batam! ***


Yang baca berpahala..

Kecubung Hitam

Cerpen : Andra S Kelana

AKU pun heran. Entah ke mana para tukang batu itu hilang tak tercatat dalam sejarah. Kepergiannya bagaikan burung gagak hitam terbang ke langit biru lalu menghilang, di celah-celah awan hitam.
Kadang kalanya aku tak habis berpikir, kenapa sejarah begitu kurang adil, sehingga si tukang batu pun tidak dicatatnya. Toh, suatu ketika orang memerlukan dirinya. Suatu saat orang memerlu kan ilmu perbatuannya, di manakah orang akan mencarinya?.
''Seperti aku sekarang ini. Ke mana kah engkau hai tukang batu!'' seru Ramli.
Atau sejarah akan menyuruh orang-orang mencari ke sungai Barito, Sungai Siak, Sungai Mahakam, Musi atau sungai-sungai yang ada di Indonesia, tempat di mana si tukang batu itu sering mendulang. Atau, sejarah akan menyuruh orang-orang menanyakan setiap pemilik toko yang menjual batu permata. Keterlaluan.
Ah! Itu tidak mungkin. 'Perburuan' mencari si tukang batu, akan menghabiskan sisa-sisa umur. Dan ini semuanya kesalahan pelaku sejarah yang tidak kongkrit mencatat, ke mana perginya si tukang batu itu.
''Aku memutuskan tidak akan mencarinya lagi,'' ungkap Ramli.
Dia tersadai di bawah pohon beringin yang rindang. Lelah, berkilometer jalan yang ditempuhnya, lewati rintangan, hanya untuk mencari si tukang batu yang pernah dia jumpai lima tahun lalu, di Pekanbaru.
Ribuan akar pohon beringin terjuntai, melindungi sekujur tubuh Ramli. Lelaki 30 tahunan ini, hanya bisa menatap burung layang-layang berdansa, dari pohon beringin ke kabel-kabel listrik berkekuatan ribuan volt, berdekatan dengan pohon itu.
''Aku telah membuat kesalahan besar!''. Ramli memaki dirinya, mengenang tentang kesalahan lima tahun lalu. Ketika dia berjumpa dengan si tukang batu, dan menawarkan dirinya batu kecubung hitam.

***
Di luar tidak ada daun-daun gugur. Di luar tidak ada hujan lebat, yang membanjiri jalan protokol, atau menenggelamkan rumah-rumah kumuh di pinggiran sungai. Meskipun tak ada daun gugur, hujan yang turun, tapi hati Ramli bagaikan hendak gugur.
''Bagaimana Ram! apakah sudah engkau dapatkan batu kecubung hitam itu?'' tanya Umar Pandegerot. Pengusaha kayu balak terkenal di kota Ramli saat itu. Umar yang mengantongi izin pengelolaan kayu, terus membolak-balik buku tentang perbatuan yang dia peroleh dari temannya di Thailand.
''Belum!''. Ramli hanya bisa berkata demikian.
Hening. Ramli maupun Umar tidak mengeluarkan sebait kata-kata. Di ruangan ukuran lima kali lima meter itu, hanya terdengar, deburan angin yang keluar dari mesin pendingin air conditioner.
Lelaki itu menutup matanya, tetapi tidak tertidur. Tangannya masih memegang buku bersampul hitam, bertuliskan ''batu permata''. Kening berkerut, tampaknya sedang memikirkan sesuatu yang
sangat berat.
''Aku berpikir. Engkau tak akan memperoleh batu itu''. Umar memecahkan kesunyian ruangan yang kedap suara. Di dindinginya tergantung gambar seorang proklamator Indonesia, Bung Karno lagi berorator.
Ramli terperangah. Dia meraba tangannya. Terasa dingin sekali. Telinganya bagaikan pekak, tak terdengar apa yang diungkapkan Umar selanjutnya. Pikirannya menerawang menembus plafon gedung
berlantai 12 itu.
Di awang-awang, dia bagaikan melihat lelaki tua yang pernah dia jumpai lima tahun lalu. Lelaki ubanan menawarkan sebutir batu berwarna hitam. Katanya kecubung hitam, seharga dua puluh lima ribu rupiah. Tidak percaya. Saat itu Ramli benar-benar tidak percaya tentang batu.
Syirik. Pamalik, kalau percaya tentang batu. Dalam ajaran Islam pun melarang umatnya percaya dengan batu-batuan. Apalagi sampai menyembah batu, hukumnya dosa besar.
Begitu juga Ramli. Berbekal ilmu agama yang pernah dia peroleh di sekolah madrasyah waktu kecil-kecil dulu, maka dia menolak membeli batu berwarna hitam. ''Jangan-jangan ini batu petir, atau pun batu kali yang bapak asah.'' Ramli berkata kepada si tukang batu saat itu.
''Tidak nak. Ini benar-benar batu kecubung hitam. Bapak menjualnya karena hendak pulang ke Kalimantan Selatan. Tempat lahir bapak. Kecubung ini banyak faedahnya, kalau anak memakainya.'' si tukang batu itu menawarkan kepada Ramli.
''Maaf Pak! Saya tidak percaya pada batu. Saya percaya pada Tuhan!'' Ramli berlalu, menembus debu-debu jalanan.

***
''Bagaimana Ram! apakah engkau akan mengakhiri pertualangan mencari si tukang baru, yang pernah engkau ceritakan padaku,'' kata Umar, menyentak hayalan Ramli.
''Belum. Aku akan terus menyuruh sungai-sungai mencarinya. Jika perlu aku pergi ke Kalimantan Selatan, menyusuri Sungai Barito, menemukan batu kecubung hitam,'' kata Ramli.
''Kapan engkau berangat?''
''Secepatnya. Jika perlu besok aku sudah terbang ke Kalimantan
Selatan,'' Ramli masih bersiteguh untuk tetap memperoleh batu itu.
''Baiklah. Ini tiket pesawat Garuda pulang-pergi. Semoga engkau sukses dalam 'perburuan' di kota Indonesia bagian tengah,'' ungkap Umar Pandegerot sambil menyerahkan empat lembar tiket Garuda kepada Ramli.

Pesawat Garuda menderu meninggalkan bisingnya kota Pekanbaru. Ramli yang berada di dalamnya hampir-hampir tak mendengar lagi apapun, selain bising deru mesin 'si burung besi itu' meraung-ruang ke langit jingga.
Wajahnya terbesit kecemasan mendalam. Mengenang tentang tragedi jatuhnya burung-burung besi, seperti yang terjadi di Pulau Jawa, maupun di Pekanbaru sendiri. ''Aku berserah diri kepada mu Ya Allah.'' Doa Ramli dalam hati.
Si cantik sang pramugari yang menyuguhkan makanan, membuat waktu tak begitu terasa satu jam dua puluh menit, pesawat terbang di udara. Dan sebentar lagi, pesawat akan mendarat di Bandara Cengkareng, Jakarta.
Transit di Ibukota Jakarta, Ramli meneruskan perjalanan ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang menghabiskan waktu satu jam dua puluh enam menit dengan pesawat Garuda. ''Moga aku mendapatkan batu kecubung hitam itu''. Ramli berkata pada dirinya.
Singkat cerita. Ramli sudah menapakan kakinya di kota Banjar. Kota dikenal dengan hasil hutannya yang dikelola oleh Bob Hasan. Kota yang pernah gagal dalam proyek pemetakan sawah pada era rezim Soeharto memimpin, untuk swasembada beras di Indonesia.
Ramli bengong. Di Hotel Mentari yang terletak di tengah-tengah kota, membuat matanya tak bisa katup, seperti bunga-bunga di taman. Lalu lalang perempuan malam yang menjajakan tubuhnya. Hentakan keras musik diskotek di lantai enam, membuat matanya tambah tak bisa terpejam.
Di kamar tidur, kegelisahan terus menghantui dirinya. Bolak-balik di kasur empuk seperti orang yang ingin mematangkan ikan. Suhu badannya terasa panas, walaupun ruangan sudah disediakan mesin pendingin.
''Besok. Ya, besok aku mulai mencari, apa yang diinginkan oleh Umar.'' Ramli menatap langit-langit kamar hotel, bagaikan menatap sebutir batu kecubung hitam. Matanya sudah semakin sayu, lunglai, lalu terkatup.

***
Ramli tersentak. Bias warna merah, yang terpancar dari celah gorden sedikit tersingkap di kamar itu, mengelus bola matanya berwarna merah. Warna merah itu juga menggoyangkan tubuhnya, untuk segera melanjutkan perburuan. Siap. Ramli sudah siap.
Dengan menyewa taksi hotel, Ramli meneruskan perjalanan sejauh 60 kilometer dari kota Banjarmasin, terletak di bagian Barat. Kota tersebut bernama Martapura, salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan.
Siapa yang tak kenal dengan Martapura, yang dijuluki kota berintan. Setiap orang datang pasti menyempatkan diri ke kota ini, untuk membeli-beli batu permata, seperti batu akik, virus, merah delima, zambrud, yakup kuning, berlian, intan, kecubung, blue sapir, rugby dan segala macam jenis perbatuan.
''Pian (kamu, red) hendak mencari batu apa?.'' Supir taksi bertanya kepada Ramli dengan sedikit logat banjar, setelah sampai di Pasar Niaga Baru, Martapura Kalimantan Selatan.
''Aku ingin mencari batu kecubung hitam,'' ungkap Ramli bersemangat.
''Itukah..! kenapa mencari batu kecubung hitam. Padahal, kalau orang datang ke sini pasti mencari batu Zambrud, Rugby, Yakup Kuning, Intan, Berlian. Kenapa pian mencari batu kecubung. Itu kan batu murahan,'' kata supir taksi.
''Bukan untuk saya. Tetapi untuk teman saya. Dia ingin sekali mencari batu kecubung hitam itu,'' jawab Ramli. Padahal Umar orang kaya, kenapa tidak membeli batu Zambrud yang mahal harganya. Dan kalau dipakai pasti menambah kewibawaan.
Ramli berputar-putar dari toko satu ke toko yang lain. Namun, batu yang dia cari belum juga dapat. Keputusasaan, mulai merona di wajahnya yang agak gelap. Ramli kembali teringat wajah si tukang batu lima tahun lalu yang pernah dia jumpai di emperan jalan, menawarkan sebutir batu.  ð 7 3 
Š ''Mencari batu nak!'' tegur seorang pria separoh baya, di sebuah kios kecil diujung komplek kios-kios yang menjual perbatu an.
Ramli tersentak. Wajah lelaki di depannya itu memecahkan bongkohan batu karang di hatinya. Wajah lelaki berkopiah hitam itu, menghalau ketakutan akan ketidakberhasilnya mendapatkan batu kecubung hitam. ''Terimakasih Tuhan.'' kata Ramli.
''Saya ingin melihat batu kecubung hitam.'' Ramli terus memandang pria itu. Dari sorot matanya, mengingatkan kembali akan wajah pak tua yang pernah menawarkan batu kepada Ramli.
Bergegas si penjual batu mengeluarkan empat butir batu berwarna hitam. Persis yang pernah ditawarkan kepada Ramli lima tahun silam.
''Pak! apa manfaat batu ini? Ramli bertanya.
''Orang bilang, siapa yang memakai batu akan menjadi berwibawa. Sebab, batu ini akan memberikan kharisma kepada si pemakainya.''
''Namun nak''.
''Kita ini orang Islam, orang beragama, tak boleh percaya dengan batu-batuan, hukumnya sirik, dosa besar. Dan Allah murka kepada orang yang memuja batu.'' kata si penjual batu itu.
Ramli tersentak. Kata-kata seperti itu pernah dia lontarkan kepada si penjual batu lima tahun silam. Dan kata-kata itu justeru dia tuai kembali. Siapa menabur angin, dialah yang akan menuai badai. Begitulah ungkapan Bung Karno. Dan ini terjadi pada Ramli.
''Benar Pak. Kita tak boleh percaya pada batu. Namun demikian, saya tetap akan membeli batu itu, berapa harganya Pak?'' tanya Ramli.
''Untuk anak saya jual seratus ribu rupiah per butirnya. Itu sudah murah. Batu ini sulit memperolehnya, kalau tidak pandai mendulang,'' kata si penjual batu itu.
''Baiklah Pak. Saya akan beli empat butir batu itu. Tapi saya ingin menanyakan sesuatu?'' ungkap Ramli.
''Pian mau tanya apa?''
''Apakah bapak pernah pergi ke Riau?''
''Riau! tidak saya tidak pernah pergi ke Riau. Memangnya kenapa nak.''
''Ah..! tidak apa-apa''. Ramli menjawab terbata-bata.
Setelah mendapatkan empat butir batu kecubung hitam, Ramli langsung menelepon Umar.
''Saya sudah mendapatkan batu kecubung hitam itu,'' kata Ramli.
''Oh ya.. baguslah!. Tapi, saya juga sudah memperoleh batu kecubung hitam itu dari seorang pak tua si penjual batu. Harganya murah, hanya dua puluh lima ribu per butirnya. Tapi, tak apalah, cepatlah engkau pulang ke Pekanbaru, biar batunya bisa aku beri kepada teman-teman,'' kata Umar.
Tersentak. Kaget, seluruh badannya lemas mendengar kata-kata seorang pak tua si penjual batu.
''Ya..! saya akan pulang besok.'' tak sadar, gagang telepon terlepas dari tangan Ramli. ***

Yang baca berpahala..

Pena dan Pengadilan

Cerpen : Andra S Kelana

DI halaman depan harian Metropolis tentang kasus koruptor seorang pejabat pemerintahan daerah, ditulis tuntas dari atas sampai ke bawah oleh wartawan senior di bidang kriminalitas bernama Kenedy. Wartawan veteran yang melalang buana dari satu media ke media lain, telah meliput berbagai berita kriminalitas di tanah air. Tak mengherankan, jika Kenedy dijuluki hunter crime oleh kalangan wartawan.

Berperawakan pendek dan gempal ini, memiliki nama asli Ahmad Fikram. Tapi, entah mengapa dia senang dipanggil Kenedy atau lebih singkat lagi Mr Ken (mungkin karena kode beritanya KEN). Atau memang, dia fanatisme dengan Presiden Amerika Serikat John F Kenedy. Atau Entahlah...! Mr Ken memiliki beberapa orang pacar. Mulai dari wanita malam (wanita tuna susila). Janda kembang, bahkan kalangan selebritis pun dia pacari. Begitulah kehebatan Ken terhadap sekujur tubuh wanita. Tak mengherankan, di mana tempat dia bertugas, Mr Ken selalu memiliki pacar.
Padahal. Kalau melihat tampangnya biasa-biasa saja. Pendidikannya hanya tamatan SLTA, itu pun sekolah swasta. Tapi, entah mengapa, dia begitu istimewa di hadapan wanita-wanitanya. Apalagi berkencan. Ken, selalu diacungkan jempol. Jago, wanita.
Mr Ken, punya motto kehidupan. ''Kejahatan adalah bagian daripada kehidupan''. Tak heranlah, ratusan pelacur kota metropolis seperti Jakarta ini, kenal dengan Mr Ken. Bandar narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba), sindikat perdagangan wanita, sudah biasa dengan Ken. Pub-pub, karoeke, diskotek, menjadi teman hidupnya.
Wartawan yang pernah meliput ketika meletus perang Irak-Iran ini, dikenali menyimpan ratusan data kejahatan di kota Metropolitan. Terutama kasus narkoba, perdagangan wanita, maupun sindikat pencurian kendaraan roda empat. Buku harian Ken yang hanya boleh tahu dirinya sendiri tersimpan nama-nama sindikat obat terlarang, perdangan wanita, pencurian kendaraan bermotor.
Jika kepolisian menangkap agen-agen narkoba, Ken lebih dahulu mendapatkan informasi. Karena dia lebih cekatan di lapangan, jika dibandingkan dengan polisi. Apalagi, kalau polisi itu sudah veteran. Tak sedikit pun cacat, dibadannya tiap meliputi kasus kejahatan. Tapi, akibat goresan tinta hitam Ken, membuat polisi runsing tak kepalang tanggung.
Sebab, ketika polisi akan mengembangkan kejahatan, Mr Ken lebih dahulu menguraikan dalam korannya, siapa-siapa saja sindikat perdagangan obat maupun wanita. Dia menulis tuntas, kasus tersebut. Sehingga polisi harus kerja ekstra untuk menangkap bandar-bandar yang telah lari akibat tulisan Ken. ''Ini tugas jurnalistik Pak Polisi. Jangan saya dihalang-halangi..!'' ungkap Ken suatu ketika kepada polisi yang menyuruhnya agar tidak menulis begitu tuntas.
Dampak dari sikapnya pasti ada. Ketika memasuki tiap kantor polisi di kota ini, sudah terpampang tulisan warna merah, ''Stop Mr Ken''. Artinya, kaki Mr Ken diharamkan untuk menginjakan di kantor pelayanan masyarakat. Tapi, bagi Ken itu tidak masalah.
Kenapa! Prinsip Ken, kejahatan adalah bagian dari hidupnya. Selagi dia hidup, maka dia bisa menulis tentang kejahatan. Jika tidak ada polisi, masih ada sumber di lapangan. Itulah tegas dan tangguhnya Ken. Ketika perampokan terjadi, Ken sudah mengetahui, siapa yang melakukannya. Siapa korban dan dari sindikat mana yang melakukan perampokan. Sementara polisi, ketika ditanya wartawan lain, selalu menjawab masih dalam penyelidikan. ''Itu bahasa konyol!'' lengking Ken.
Sehingga, dalam pemberitaan Ken, tidak pernah menuliskan nama seorang polisi untuk mendapatkan konfirmasi. Dia hanya menuliskan data lapangan dan sumber korban. ''Untuk apa polisi, kita sudah melihat kejadian di depan mata kepala sendiri,'' katanya. Karena akurasi data lapangan, tulisannya selalu menjadi bahan perbincangan tiap polisi melakukan gelar operasional (GO) di depan para staff. Guntingan koran Ken menjadi acuan.
***
MR KEN, si wartawan yang memiliki tiga orang istri dalam satu kota ini benar-benar memegang teguh yang namanya sumber berita ataupun off the record. Biar pun sampai ke tiang gantungan. Ataupun kepalanya didor dengan timah panas, dia tetap mempertahankan sumbernya. Dalam halnya kasus koruptor pejabat daerah.
''Saudara Ahmad Fikram alias Mr Ken...! siapa sumber Anda, sehingga Anda begitu berani menurunkan tulisan tentang koruptor pejabat daerah,'' tanya hakim Marsudi SH kepadanya.
''Maaf Pak Hakim...! Saya rasa bapak tahu kode etik jurnalistik, bahwa sumber itu tidak boleh saya katakan, walaupun saya berhadapan dengan hakim sendiri,'' jawab Ken. ''Baik..! Saudara Ken, darimana Anda mendapatkan data koruptor ini?'' tanya hakim lagi.
''Sudah saya katakan Pak Hakim. Dan Anda tentu tidak buta huruf untuk membaca tulisan dalam koran itu. Data kasus koruptor itu saya peroleh dari seorang sumber yang kuat dan akurat. Sekali lagi saya tegaskan, saya masih tetap mempertahankan siapa sumber saya itu,'' jawab Ken sambil memperlihat tulisan di korannya.
''Baik...! Anda memang seorang wartawan sejati, berani mempertahankan sumber, walaupun Anda harus dituntut miliaran rupiah atau pun di penjara,'' ''Terimakasih Pak hakim, Anda telah memuji saya. Tapi pujian itu tidak berarti bagi saya,'' ketus Ken bersahaja.
''Sampai hari ini sudah delapan kali Anda bersaksi di pengadilan ini, dan Anda merupakan saksi kesembilan dan saksi kunci dalam kasus ini. Tapi, Anda masih bersikukuh mempertahankan sumber Anda,'' jelas hakim.
''Hari ini, Anda tidak hanya sebagai saksi, tetapi terdakwa, sesuai dengan tuntutan pejabat pemerintah daerah, bahwa Anda telah mencemarkan nama baik pejabat. Baiklah, sidang kami tunda dua hari lagi untuk mendengarkan vonis,'' kata ketua hakim, dan ''tuk.. tuk.. tuk,'' hakim mengetuk palu tiga kali pertanda sidang ditutup.
***
MENJELANG dua hari sidang terakhir untuk saksi kesembilan Mr Ken, bahkan menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik, koran-
terus menulis berita, biodata Ken, keteguhan hati dan tanggungjawab Mr Ken. Biasanya, Ken menulis berita kriminalitas, sekarang justru Ken yang ditulis dalam kasus kriminalitas.
''Saudara hadirin...! Sidang saksi kesembilan atas nama Mr Ken, kasus koruptor pejabat daerah, hari ini kami buka,'' kata hakim. ''Tuk... tuk... tuk,'' hakim mengetuk palu tiga kali, 
pertanda sidang dimulai. ''Apa Anda sehat hari ini Mr Ken?'' tanya hakim. ''Saya tidak pernah sakit Pak Hakim,'' jawab hakim. Sidang ramai dikunjungi orang maupun wartawan, langsung mendapat aplus. ''Pukkk... pukkk...puk...'' tepuk tangan pengunjung. ''Setelah melalui persidangan dan beberapa kali tuntutan, maka hari ini majelis hakim akan membacakan vonis Anda. Apakah Anda sudah siap mendengarkan vonis?'' tanya majelis hakim. ''Saya katakan sudah siap, tanpa dipengaruhi siapa pun,'' jawab Ken. ''Baiklah. Setelah melalui persidangan beberapa kali dan mendengarkan keterangan beberapa saksi dalam kasus ini, maka Anda telah menghina dan mencemarkan nama baik. Anda telah melanggar KUHP Pasal 310,'' ''Bunyi Pasal 310,'' jelas hakim. ''Barangsiapa dengan sengaja menyerang, kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduh itu supaya diketahui umum, karena bersalah menista orang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan
bulan atau denda sebanyak-banyaknya empar ribu lima ratus rupiah. Apakah Anda menerima keputusan ini?'' tanya hakim. ''Saya tidak menerima keputusan itu Pak Hakim. Saya atas nama pribadi dan tidak didampingi pengacara, saya melakukan pembelaan,'' jawab Ken. ''Silakan Anda melakukan pembelaan,'' kata hakim. ''Dari awal sidang sudah hendak saya katakan, tapi selalu tidak diberi kesempatan, karena saya terus dicerca berbagai pertanyaan. Sebenarnya, kenapa tertuduh dalam kasus korupsi ini tidak membuat hak jawab. Kalau tidak melakukan penggelapan dana proyek, silakan membantah akan saya buat, sepanjang yang saya tulis dan letaknya sama,'' ''Penawaran hak jawab itu sudah saya sampaikan kepada tertuduh. Tapi, meraka tidak mau. Mereka ingin pembuktian kebenaran itu di pengadilan. Jadi, pembelaan saya adalah, silakan tertuduh membuat hak jawab,'' jelas Mr Ken. Mendengar penjelasan Mr Ken, tersentaklah majelis hakim. Mereka bolak-balik berkas berita acara pemeriksaan memang benar. Tak satupun berkas menguraikan tentang hak jawab. Pembelaan tertuduh. ''Baiklah..! sidang kami skor 15 menit. Hakim mau bersidang,'' kata hakim. Pengunjung kagum, atas keberanian dan ketenangan si pemburu berita ini. Ada yang mendekati Ken, dan memberikan salam. Ken tenang-tenang saja. Setelah lima belas menit hakim berdiskusi, maka sidang pun dibuka kembali terbuka untuk umum. ''Sidang kami buka kembali!'' kata hakim. ''Tuk...Tuk.. Tuk'' ''Setelah mendengar pembelaan saksi sekaligus menjadi terdakwa dalam Pasal 310, maka majelis hakim memutuskan...!'' hakim terhenti sejenak. Pengunjung diam. Ruangan sidang menjadi sepi dan senyam. Detak-detak jantung pengunjung seakan-akan terdengar, apa keputusan hakim. ''Hakim memutuskan...! vonis untuk saudara Ken dicabut. Kami beri kesempatan kepada tertuduh memberi hak jawab kepada koran Mr Ken,'' kata hakim. ''Tuk...tuk..tuk,'' Bagaikan hendak runtuh ruangan sidang pengadilan kota metropolis. Pengunjung bersorak-sorai memberi tepuk tangan. Ada yang berteriak hidup Mr Ken...! ada juga berteriak. Hidup Pak Hakim....!. Ken meneteskan air mata. Dia sedih, bukan karena bisa lepas dari jerat hukum. Tapi dia sadar, bahwa tidak enak menjadi seorang terdakwa ataupun penjahat. Meskipun prinsif hidupnya, kejahatan adalah bagian dari hidupnya. ***

Yang baca berpahala..

Uka-uka Ramadan

Celoteh Ramadan

USAI salat terawih, Cik Amat langsung menyetel televisi 14 inchi, sambil menunggu Cik Minah, sang istri yang telah menemaninya selama 30 tahun, membuatkan secangkir kopi manis, dan kue-mueh, merupakan menu santapan Cik Amat, usai salat terawih.

Beberapa menit televisi dihidupkan, Cik Amat langsung tertawa terbahak-bahak. Cik Minah yang tengah mengucau air kopi di dapur terperanjat mendengar suara Cik Amat yang kedengarannya girang. Dan, beberapa menit kemudian, Cik Minah pun muncul dari pintu dapur.
‘’Ade ape bang?’’ tanya Cik Minah.
‘’Tak adelah,’’ sahut Cik Amat.
‘’Kalau tak ade ape-ape, kenapa pulak tak ade angin, tak ade hujan abang tertawa terbahak-bahak, macam suara setan saje,’’ ujar Cik Minah lagi. ‘’Ni kopinya bang, raselah manis-tidaknya. Maklumlah tekak saye payau,’’ kata Cik Minah, langsung menyorong kopi dan sepiring kecil kue.
Beberapa menit kemudian, Cik Amat kembali tertawa terbahak-bahak, bahkan suaranya semakin keras. Selidiki punya selidik ternyata, penyebab tertawa Cik Amat adalah melihat salah satu program yang tayangan televisi swasta nasional.
Program yang ditayangkan adalah mencari hantu. Siapa yang mendapatkan atau menemukan hantu dalam tempo beberapa jam, akan diberi uang satu juta rupiah. Pesertanya seorang pemuda yang terkenal sakti dalam mencari dunia lain tersebut.
‘’Ape yang membuat abang tertawa tu. Ape ade yang lucu?’’ Cik Minah keluar kamar langsung mendekati suaminya.
‘’Cube engkau tengok Minah.’’
‘’Tengok abang?’’
‘’Tengok tv-lah’’.
‘’Biase saje! Ade budak duduk di bawah pohon besar pada malam hari,’’ kata Cik Minah.
‘’Itulah yang menyebabkan aku tertawa,’’ kata Cik Amat.
‘’Memangnya kenapa?’’ tanya Cik Minah.
‘’Ape budak tu tak beriman, tidak menimba ilmu agama Islam, bahwa pada bulan Ramadan ini tidak ada yang namenya hantu, tidak ade yang nama setan. Sebab, selama bulan Ramadan, semua hantu dan setan sudah diikat oleh Allah, sehingga tidak bisa mengganggu manusia. Jadi kalau setan sudah diikat macam mane nak mencari uka-uka. Sampai berjam-jam pun tak ketemu,’’ jelas Cik Amat.
‘’Iye bang, memang bodoh orang ini. Dan kite yang nonton pun ikut bodoh,’’ singgung Cik Minah. Mendengar perkata Cik Minah, muke Cik Amat langsung berubah merah-merona.
‘’Nyinggung. Iyelah aku tak nonton itu lagi. Tengok sajelah lagu dangdut tu,’’ kata Cik Amat, langsung menyerahkan remote tv kepada bininya. ***


Yang baca berpahala..

Uhuk..! Uhuk..! Siang Hari

Celoteh Ramadan

KOHENG lari tunggang-langgang menuju rumah Cik Amat, yang berjarak 200 meter dari rumahnya. Nafasnya terengah-engah, menahan sesak. Maklumlah, lari siang hari pada bulan Ramadan ini, alangkah hausnya tenggorokan. Tetapi, demi meningkatkan amal ibadah, rasa haus dahaga tersebut ditahan Koheng.



‘’Assalamu’alaikum..!’’ suara Koheng tersendat-sendat memberi salam kepada Cik Amat.
Pada saat itu, Cik Amat yang lagi berlepak di lantai, menonton siaran malay, terperanjat dibuatnya. Orangtua ini duduk, dan memang ke arah pintu, datangnya suara tersebut.
‘’Wa’alaikumsalam..! Engkau rupenya Koheng. Ade ape, datang macam orang dikejar setan saje. Siang-siang sudah merathon, ape tidak puase?!’’ tutur Cik Amat kepada Koheng, yang kelihatan pucat.
‘’Boleh saye masuk Pak Cik?’’ tanya Koheng.
‘’Eeh.. sile..! sile,’’ kata Cik Amat, mempersilakan Koheng masuk rumahnya dan duduk berselimput di depan TV.
‘’Ade ape Koheng, macam orang ketakutan saje?’’ tanya Cik Amat.
‘’Anu Pak Cik, saye nak tanye dikit,’’ ungkap Koheng.
‘’Ape ade hal yang mustahak?!’’ tanya Cik Amat lagi.
‘’Ade Pak Cik.’’
‘’Tentang ape?. Apakah tentang Cik Minah yang mengambil barang di rumah engkau dan tidak membayarnya. Atau ada perihal lainnya?’’ Cik Amat semakin penasaran melihat Koheng, yang baru saja memeluk agama Islam.
‘’Begini Pak Cik. Saya balu saja melakukan Uhuk..! uhuk..! pada siang hali. Apakah itu membatal puasa, atau berdosa?’’ Koheng mulai, sementara nafasnya yang terengah-engah perlahan-lahan menghilang.
‘’Ape!’’ Cik Amat terperanjat mendengar penuturan Koheng. ‘’Ape engkau melakukan…! Uhuk.. Uhuk.. pada siang hari dengan istri kamu?. Ape tidak bisa ditahan pada malam hari saja?’’ kata Cik Amat.
‘’Itulah Pak Cik. Dan bukan same istri saye,’’ ungkap Koheng lagi.
‘’Melakukan uhuk.. uhuk pada siang hari bulan Ramadan, engkau harus mengganti puasa selama dua bulan berturut-turut,’’ jelas Cik Amat.
‘’Tapi Pak Cik’’.
‘’Tapi apa lagi. Engkau harus mengganti puasa selama dua bulan’’.
‘’Maksudnya, saya melakukan uhuk.. uhuk.. itu hanya dalam mimpi, tetapi..! saya malu menceritakannya,’’ Koheng membuka tabir perselingkuhannya.
‘’Oh.. ! engkau hanya mimpi dan ke…! Tak ape-ape, engkau mandi junub saya setelah itu lanjutkan saje puasanya, sebab tidak batal,’’ tutur Cik Amat.
‘’Tidak batal. Alhamdulillah. Saye pulang dulu ye Pak Cik,’’ ujar Koheng gembira, yang langsung meninggalkan Cik Amat. ***

Yang baca berpahala..

THR Tepung dan Mentega

Celoteh Ramadan

CIK Amat kelihatan sedih, setelah mendapatkan Tunjangan Hari Raya [THR] dari kantornya. THR yang terbungkus dalam kantong plastik warna merah, hanya berisikan satu kilogram mentega, dan dua kilogram tepung terigu.
‘’Macam mane-lah lebaran tahun mau bersuka-ria, kalau di rumah kite setiap tahunnya berisikan kue bangkit, dan kue bahulu model bunga-bunga. Tak pernahnya bini membuat kue yang lebih enak dikit,’’ ungkap Leman, teman sekantor Cik Amat.



‘’Iye bang Leman. Saya tak pernah mengambil THR dari kantor. Habis cume tepung dari mentega,’’ timpal Udin Bengkalis.
‘’Betul,’’ ujar Ahyar Tarempa yang baru sembuh dari sakit.
‘’Tak pernahlah THR kita ini berubah dari tahun ke tahun. Tepung, mentega. Kalau die menjadi Lurah, maka ditambah gula satu kilo. Kalau die menjadi Pak Camat, ditambah sirup dua botol. Nah, kalau die menjabat kepala dinas, maka ade tepung terigu, mentega, sirup, gula, dan ditambah dua kaleng susu cap nona. Saye, dapat THR itu langsung saye bagikan kepada tetangga,’’ cerita Ahyar Terempa, juga kelihatan sedih.
Cik Amat berdiam diri saja, mendengarkan keluh kesah teman-temannya tentang THR seorang pegawai negeri sipil. Hati Cik Amat semakin miris mendengar itu itu, karena bininya tak pernah bisa-bisa membuat kue lapis susu delapan belas jam, atau pudding telur, atau kue-kue sedap-sedap lain yang dia pelajari dari ibu-ibu PKK.
‘’Seharusnya Din,’’ kata Ahyar Tarempa lagi. ‘’Seharusnya Pak Camat, Kepala Dinas tidak perlu lagi mendapatkan THR seperti itu, karena mereka banyak mendapatkan parcel dari teman-teman sejawatnya. Yang harus mendapatkan THR tepung, mentega, susu, sirup, gula, pegawai rendahan seperti kita ini,’’ terang Ahyar.
‘’Betul!’’ seru Leman.
‘’Aok..!’’ sahut Udin Bengkalis.
‘’Bagaimana kalau kite menulis surat,’’ kata Leman.
‘’Surat kepada siapa?’’ tanya Udin.
‘’Menulis surat ke walikota. Khan di koran ade dituliskan, ‘Warga bertanya, Bang Nyat menjawab’ jadi, walikota menjawab semua pertanyaan kita,’’ terang Leman.
‘’Betul jugak cakap awak tu Man,’’ timpal Udin lagi. ‘’Mari kite bertanya kepada Pak Wali, kenapa pegawai negeri sipil rendahan seperti kite-kite ini hanya mendapatkan THR tepung terigu dan mentega. Nak, buat lempeng pada lebaran nanti,’’ ungkap Ahyar.
‘’Iye, masak pegawai swasta mendapatkan THR satu sampai dua bulan gaji. Ayolah kite buat sekarang, sebelum lebaran tiba,’’ timpal Leman.
‘’Tak usahlah kite nak macam-macam. Memang beginilah nasib pegawai negeri. Kalau tak mau tepung dan mentega, jangan menjadi pegawai negeri. Kenape kalian berebut-rebut menjadi pegawai negeri dulu, nyogok pulak. Sekarang merepet-repet. Sudahlah, kerja kite lagi,’’ terang Cik Amat. Udin, Leman dan Ahyar Tarempa, tediam mendengarkannya. ***

Yang baca berpahala..

Telan Obat Pakai Roti (3)

Celoteh Ramadan

UDIN dan Cik Amat pergi ke apotek, membeli beberapa butir Pil Kina untuk obat Ayar. Sesampai di rumah, Cik Amat dan Udin melihat Ahyar tengah lagi duduk berselimput menghadap kaca jendela, percis apa yang diceritakan Udin kepada Cik Amat.
‘’Betulkan yang saye ceritakan Pak Cik,’’ bisik Udin kepada Cik Amat, yang disambut dengan anggukan, tanda membenarkan.



‘’Yar!’’ tegur Cik Amat.
‘’Oh..! Iye Pak Cik.’’
‘’Sakit Yar?’’
‘’Itulah Pak Cik.’’
‘’Nah, kami bawakan obat untuk engkau, biar cepat sembuh,’’ kata Cik Amat.
‘’Obat ape Pak Cik?’’
‘’Pil Kina’’.
‘’Alamak..! pil itu pahit betullah Pak Cik. Dan itu untuk obat penyakit kure-kure?’’ ungkap Ahyar.
‘’Namanya jugak obat Yar, mane kan ade obat untuk orang yang berjanggut, berkumis dan berbulu ini yang manis-manis semuenya pahit. Yang manis itu obat budak kecik,’’ jelas Cik Amat, langsung menyorongkan beberapa butir Pil Kina.
‘’Amboi mak Din, ini pahitlah,’’ kata Ahyar lagi.
‘’Ya ampun mak..! semua obat ye’ pahitlah. Kalau tak ‘endak pahit, pergi suntik sane!’’ ungkap Udin.
‘’Kalau suntik, minta ampunlah saye. Ngeri menengok jarum tu dokter itu. Sebab, orang kampung saye ade meninggalkan karena jarum suntik patah dan tinggal di dalam daging. Beberapa hari kemudian meninggalkan. Biarlah saye makan obat saje. Pahir-pahitlah..! ujar Ahyar, langsung mengambil sebutir pil kina.
‘’Nah macam itulah,’’ kata Udin.
‘’Ape lagi, pedallah obat itu, jangan dibilik-bilik lagi,’’ tutur Cik Amat, karena Ahyar hanya memegang dan membolak-balik pil kina.
‘’Telanlah pakai air putih!’’ sergah Udin.
Ahyar tak menggubrisnya. Obat tersebut masih genggamnya. Kebetulan ada roti kapas sisa sahur Udin. Nah, obat tersebut diletakkannya di atas roti kapas. Kemudian, obat dan roti dipentel-pentel, dipentel-pentel, hingga bulat. Itu pun tidak langsung dimakan. Melihat itu, Cik Amat dan Udin Bengkalis tertawa terkekeh-kekeh.
‘’Engkau aku tengok macam atuk aku Yar. Telan obat pakai pisang rebus, biar tak terasa pahit. Karena engkau modern, telan obat pakai roti,’’ ejek Udin. Cik Amat pun hanya tersebut simpul saje. Sementara Ahyar, karena malu, dengan pejam mate, langsung menelen obat. Tetapi beberapa menit kemudian keluar lagi. ***

Yang baca berpahala..

Sebulan Alasan

Celoteh Ramadan

UDIN Pendek –kebetulan tinggi badannya hanya 90 centimeter sehingga digelar pendek—terkenal dengan laki-laki mempunyai banyak alasan. Sehingga, tak mengheranlah, jika dirinya banyak mendapat gelar. Udin Pendek, Udin Alasan, Udin Pisang –karena suka makan pisang-- dan segalam macam gelar.



Begitu juga pada bulan Ramadan tahun ini. Lagi-lagi Udin yang sehari-harinya mencari nafkah dengan membawa mobil buntut mencari penumpang keliling kota Batam, menebarkan pesona alasan. Sehingga hampir satu bulan penuh Ramadan, Udin tak pernah merasakan apa itu puasa.
Hebatnya, agar orang percaya dengan alasannya tersebut, Bung Udin –begitulah orang memanggilnya-- selalu menunjukkan barang bukti, baik obat mapun resep dokter yang sudah kadaluarsa.
‘’Kenapa engkau tak puasa Din?’’ tanya Cik Amat.
‘’Anu.. Pak Cik, maag saye kambuh lagi. Dua hari ini teruk betul rasanya perut saye. Baru habis sahur, paginya sudah mulas dan muntah-muntah. Kata dokter saye tak boleh puase,’’ jelas Udin.
‘’Pembengak tak awak tu Din,’’ kata Cik Amat.
‘’Sumpah Lillah Pak Cik. Saye betul sakit maag, kalau tak percaya tengok ini, segumpal saye membawa obat sakit maag. Ada waisan, ada program, ada sanmaag, dan lain-lainnya Pak Cik,’’ ujar Udin sambil menujukkan bungkusan plastik berisi obat-obatan.
‘’Oh sakit maag konon. Nah, tiga hari yang lalu engkau tak puase kenapa pulak?’’ tanya Cik Amat lagi.
‘’Tiga hari yang lalu..!’’ Udin memutar otaknya untuk memcari alasan. ‘’Oh tiga hari yang lalu, saye sakit perut Pak Cik. Dekat sepuluh kali saye buang air di jamban. Dokter pun melarang berpuase, harus banyak-banyak minum orarit dan obat sakit perut,’’ katanya.
‘’Kalau minggu lalu engkau tak puasa, kenapa pulak lagi?’’ Cik Amat mulai mencemeh.
‘’Nah, kalau minggu lalu itu Pak Cik, itu betul-betul kesalahan saye.’’
‘’Kenapa?’’
‘’Tak bangun sahur..! padahal saye sudah menyiapkan gulai ikan sembilang. Daripada basi, langsung saje paginya saye embat.Besoknya Pak Cik, saye tak puase lagi, karena sakit gigi,’’ jelas Udin cengengesan.
‘’Udin..! Udin..! patutlah engkau digelar Udin alasan. Kalau tak ade niat nak berpuase, jangan mencari sebab serta mencari alas an,’’ tutur Cik Amat.
‘’Amboi Pak Cik, macam lagu Malaysia saje, mencari sebab serta mencari alas an. Sudahlah Pak Cik, tunggulah saye tue, baru puase siang malam, Senin dan Kamis,’’ kata Udin langsung pergi. Cik Amat hanya menggeleng-geleng kepala melihatnya. ***

Yang baca berpahala..

Sebulan Alasan

Celoteh Ramadan

UDIN Pendek –kebetulan tinggi badannya hanya 90 centimeter sehingga digelar pendek—terkenal dengan laki-laki mempunyai banyak alasan. Sehingga, tak mengheranlah, jika dirinya banyak mendapat gelar. Udin Pendek, Udin Alasan, Udin Pisang –karena suka makan pisang-- dan segalam macam gelar.



Begitu juga pada bulan Ramadan tahun ini. Lagi-lagi Udin yang sehari-harinya mencari nafkah dengan membawa mobil buntut mencari penumpang keliling kota Batam, menebarkan pesona alasan. Sehingga hampir satu bulan penuh Ramadan, Udin tak pernah merasakan apa itu puasa.
Hebatnya, agar orang percaya dengan alasannya tersebut, Bung Udin –begitulah orang memanggilnya-- selalu menunjukkan barang bukti, baik obat mapun resep dokter yang sudah kadaluarsa.
‘’Kenapa engkau tak puasa Din?’’ tanya Cik Amat.
‘’Anu.. Pak Cik, maag saye kambuh lagi. Dua hari ini teruk betul rasanya perut saye. Baru habis sahur, paginya sudah mulas dan muntah-muntah. Kata dokter saye tak boleh puase,’’ jelas Udin.
‘’Pembengak tak awak tu Din,’’ kata Cik Amat.
‘’Sumpah Lillah Pak Cik. Saye betul sakit maag, kalau tak percaya tengok ini, segumpal saye membawa obat sakit maag. Ada waisan, ada program, ada sanmaag, dan lain-lainnya Pak Cik,’’ ujar Udin sambil menujukkan bungkusan plastik berisi obat-obatan.
‘’Oh sakit maag konon. Nah, tiga hari yang lalu engkau tak puase kenapa pulak?’’ tanya Cik Amat lagi.
‘’Tiga hari yang lalu..!’’ Udin memutar otaknya untuk memcari alasan. ‘’Oh tiga hari yang lalu, saye sakit perut Pak Cik. Dekat sepuluh kali saye buang air di jamban. Dokter pun melarang berpuase, harus banyak-banyak minum orarit dan obat sakit perut,’’ katanya.
‘’Kalau minggu lalu engkau tak puasa, kenapa pulak lagi?’’ Cik Amat mulai mencemeh.
‘’Nah, kalau minggu lalu itu Pak Cik, itu betul-betul kesalahan saye.’’
‘’Kenapa?’’
‘’Tak bangun sahur..! padahal saye sudah menyiapkan gulai ikan sembilang. Daripada basi, langsung saje paginya saye embat.Besoknya Pak Cik, saye tak puase lagi, karena sakit gigi,’’ jelas Udin cengengesan.
‘’Udin..! Udin..! patutlah engkau digelar Udin alasan. Kalau tak ade niat nak berpuase, jangan mencari sebab serta mencari alas an,’’ tutur Cik Amat.
‘’Amboi Pak Cik, macam lagu Malaysia saje, mencari sebab serta mencari alas an. Sudahlah Pak Cik, tunggulah saye tue, baru puase siang malam, Senin dan Kamis,’’ kata Udin langsung pergi. Cik Amat hanya menggeleng-geleng kepala melihatnya. ***

Yang baca berpahala..

Demam Vibrator (1)

Celoteh Ramadan

AHYAR Tarempa beberapa hari ini tidak masuk kerja. Hal ini membuat Cik Amat runsing tak kepalang. Betapa tidak, semua pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh Ayar diperintahkan pak lurah harus ditangani oleh Cik Amat. Mulai dari mengurus surat masuk dan keluar, men-stempel, memberi nomor kartu keluarga, mengatar surat-menyurat, hingga menangani urusan lainnya, harus dilakukan oleh Cik Amat.


Padahal sebelumnya, pekerjaan itu dilakukan oleh Ahyat Tarempa tersebut. Namun apa boleh buat, karena kawan menderita sakit, pekerjaan itu iklas-tidak iklas, harus dikerjakan juga.
‘’Din, ape sakit Ahyar, kawan awak tu. Dah tiga hari tak baik-baik. Kate orang-orang zaman dahulu, kalau tige hari tak baik-baik berbahaya?’’ tanya Cik Amat kepada Udin Bengkalis, kawan satu rumah Ahyar.
‘’Entahlah Pak Cik. Saye pun tak mengerti ape penyakit yang idap budak Ahyar itu. Kalau pagi badannya panas. Siang-siang dikit, sejuk. Sekali-sekali menggigil, bergetar, macam demam vibrator, badannya begegar Pak Cik. Lepas itu haus, kepala pening, badan lemas, tidur pun dah payah,’’ cerita.
‘’Amboi…! Amboi..! kalau mendengar cerita engkau tu Din, teruk sangat penyakit budak Ahyar tu. Cik..! Cik..! kasihan. Emak jauh, abah jauh, bini tak ade, jangan-jangan cewek pun tak ade. Kalau begitu memang teruk sangatlah Din?’’ kata Cik Amt penasaran.
‘’Itulah Pak Cik. Entah sakit ape pulak yang hidap budak Ahyar tu Kadang-kadang kasihan juga saya tengok. Nah pergi ke rumah sakit, duit tak ade pulak. Lain lagi kalau dah malam,’’ cerita Udin Bengkalis makin semangat.
‘’Nah, kalau malam macam mane pulak kejadiannya. Menggigilkah, vibrator kah, panas dingin atau ape?’’ Cik Amat semakin penasaran mendengar cerita Udin, tentang penyakit kawan sepekerjanya itu.
‘’Kalau malam Pak Cik.’’
‘’Iye, kalau malam macam mane?’’
‘’Kalau malam, die duduk berselimput di depan jendela rumah, memandang langit-langit yang hitam. Menung pun bukan sekejab, lame Pak Cik. Kadang-kadang sampai berjam-jam, tak tidur-tidur sampai pagi. Lepas itu baru tidur, itu pun sebentar,’’ jelas Udin.
‘’Waktu die menung-menung tu, apakah bercakap sendirian, atau tersengeh-sengeh sendirian?’’ Cik Amat terus bertanya.
‘’Karena dia menung sendirian, takut terjadi ape-ape, saya pun tidak bisa tidur. Paling-paling tidur-tidur ayam saje. Nah, saye tengok, saya dengar di keheningan malam itu, tidak pulak die bercakap sendirian, atau tersengeh-sengeh. Biase saje Pak Cik. Cuma mungkin niat hendak bermenung,’’ Udin Bengkalis mencerita semua perihal kawan satu kamarnya. ***


Yang baca berpahala..

Rendam Kaki Dalam Baskom

Celoteh Ramadan

SEMENJAK 17 hari bulan Ramadan, Cik Minah terus meningkatkan amal ibadahnya. Sembahyang teraweh yang biasanya 11 rakat, pulang ke rumah ditambah lagi, hingga menjadi 21 rakat. Bangun tengah malam langsung salat tahajud. Usai subuh, membaca Al Quran, dan sepenggal matahari pagi, Cik Minah ambil air wudhu langsung menjalankan salat Dhuha.



Tak hanya itu, salat sunat qabla dan ba’da setiap melaksanakan salat fardhu, tak tinggalkan. Zikir, menyebut asma Allah terus tingkatkan. Hal ini membuat Cik Amat terheran-heran, ada apa gerangan istrinya. Yang biasanya, Cik Minah itu kerjanya menjuyah ke sana- ke sini, tiba-tiba berubah perangai menjadi alim.
‘’Jangan si Minah mendapat mukjizat pulak, sehingga perilakunya berubah hingga tiga ratus enam puluh derajat,’’ gumam Cik Amat.
Yang membuat Cik Amat terheran, setiap malam, Cik Minah selalu menyiapkan baskom berisi air. Kemudian, kakinya langsung direndam di dalam baskon itu, berjam-jam lamanya. Kakinya yang agak keriputan karena usia yang semakin renta, bertambah keriput karena terus direndam di dalam air.
Melihat tabiat istrinya seperti itu, membuat Cik Amat tak tahan ingin bertanya. Ada apakah gerangan. Atau memang Allah sudah membuka pintu hati istrinya itu, sehingga amal ibadah ditingkatkan.
‘’Minah, untuk apa baskom berisi air yang engkau taruk di dalam kamar. Kemudian, kenapa pulak kaki engkau direndam dalam baskom itu hingga berlama-lama. Nanti masuk angin pulak kaki engkau tu Minah?’’ tanya Cik Amat kepada bininya yang tengah mengaji kitab suci Al Quran.
‘’Tenang sajelah abang. Jangan mengganggu saya nak mengaji,’’ jawab Cik Minah bersahaja, tanpa menoleh suaminya.
‘’Jangan tenang-tenang Minah. Engkau itu kalau masuk angin, bukan main rhokah (cerewet, red), minta urutlah, kasih minyak cap kapaklah, semacam-macam,’’ kata Cik Amat.
‘’Hei bang. Inikan sudah 17 hari bulan Ramadan. Nah, mulai sekarang ini Allah menurunkan Lailatul Qadar,’’ terang Cik Minah.
‘’Apa hubungan engkau merendamkan kaki dalam air, dengan malam Lailatul Qadar,’’ ungkap Cik Amat.
‘’Bang dengar ye!. Kalau Lailatul Qadar itu turun, bumi ini menjadi terang benderang, bulan bersinar keemasan, semua pohon-pohon tunduk dan sujut. Air menjadi beku,’’ jelas Cik Minah. ‘’Nah, air dalam baskom ini pun turun,’’ terang Cik Minah bersemangat, tidak memperdulikan suaminya. Cik Minah terus melantunkan ayat-ayat yang ada dalam kitab suci itu. ***

Yang baca berpahala..

Pergi Jalan ke Rumah Mertua

Celoteh Ramadan

‘’TI.. hampir sebulan puase, belum sekali pun kite berbuka dan bersahur ke rumah emak engkau. Nanti mereka kecik hati pulak, kenape-lah kite tak datang-datang. Yang aku segan bukan kepada emak engkau, tetapi kalau abah engkau tu marah, bisa kena leseing aku nantinya,’’ Sulaiman mengajak istrinya Siti, pergi ke rumah orangtuanya Cik Amat-Cik Minah di Bengkong.


‘’Saye bukan tak mau berbuka atau bersahur di rumah emak tu abang, tetapi takut kejadian lagi seperti awal puase,’’ ungkap Siti, yang lagi menggosok baju kurung.
‘’Rianto itu budak kecik, sehingga ape yang die lihat itulah yang die cakapkan. Lagi pula Abah itu orangnya suke mengenyek, mengejek oranglah. Masakan budak kecik yang tahu ape-ape diajak bercakap, yang tak senonoh lagi. Jadi takut kite dibuat malu lagi,’’ ungkap Siti, cemberut.
‘’Sudahlah ti, yang berlalu biarlah berlalu. Pokoknya nantinya, sesampai di rumah emak engkau tu, Rianto langsung dikasih susu dan disuruh tidur, biar die tidak macam-macam dengan abah engkau tu,’’ ungkap Sulaiman, suami Siti. Mendengar usulan suaminya, Siti pun menggangguk.
‘’Kalau begitu siap-siaplah engkau, sebentar lagi kite berangkat. Hari pun cerah nampaknya, takut kalau terlambat hujan pulak lagi. Maklumlah cuace di Batam ini tidak menentu, kadang hujan, kadang panas, yang parah lagi hujan-panas,’’ ungkap Sulaiman.
‘’Iyelah bang,’’ unkap Siti.
Beberapa menit kemudian, kedua laki bini, serta anaknya Rianto langsung menuju ke rumah orangtuanya di Bengkong. Sesampai di rumah, wajah Cik Amat tampak kegirangan, karena merindukan cucunya.
‘’Amboi nak, dah nah habis puase baru engkau ke rumah abah. Marah ke dengan abah?’’ tanya Cik Amat.
‘’Tidaklah bah, maklumlah bang Leman ini banyak sangat kerjenya, jadi sibuk, tak sempat-sempat nak ke rumah abah. Barulah hari ini bisa berleha sedikit,’’ jelas Siti, sambil menggendong anaknya.
‘’Betul mak, sampai-sampai hari minggu pun saye bekerja,’’ timpal Sulaiman, memperkuat cakap bininya.
‘’Iye Ti, abah engkau sudah risau sangatlah nak bermain dengan cucunya. Kalau engkau tak datang dalam dua hari ini, abah engkau nak pergi ke rumah mike bedua,’’ jawab Cik Minah.
‘’Kalau banyak kerja, banyak lembur, tentulah bisa pendapatan mike-mike tu. Baguslah, jadi tak payah-payah aku lebaran tahun ini,’’ celetuk Cik Amat.
‘’Hei bang.. ! jangan nak mencari gara-gara lagi. Ayolah Ti, Man, kita bercakap-cakap di dapur saje, jangan layani abah engkau Tu, maklumlah, kepalenya sudah banyak yang konslet,’’ kata Cik Minah mengajak anak-menantunya pergi ke dapur. ***



Yang baca berpahala..

Parcel Pak Guntul

Celoteh Ramadan

‘’BANG oi..! teriak Cik Minah.
‘’Cube awak tengok si Apeng. Banyak betul die membawa parcel dan minuman gas (minuman berkaleng, red). Jangan-jangan nak mengasih kite yang ada di sekitar rumahnya?’’ kata Cik Minah.



‘’Mane kan mungkin si Apeng itu nak mengasih tetangga-tangganya parcel, atau makanan. Die itu orangnye pelet kedekot, tangkai dan segalam macam perpeletan-lah. Nak dibawa mati harta bendanya,’’ ungkap Cik Amat, yang terus saja membaca koran.
‘’Amboi banyaknye bang’’.
‘’Biar sajelah Minah. Tak usah engkau pedulikan dengan hal orang’’. Memang dasar Cik Minah yang selalu penasaran ape saje yang dilakukan tentangganya. Sehingga, dia pun langsung berteriak, tertanya kepada Apeng.
‘’Penga..! nak bawa kemane makanan dan minuman itu? Tanya Cik Minah dengan suara lantang.
‘’Biaselah Cik Minah, parcel ini untuk lekan-lekan saye. Sudah menjadi kebiasaan saye tiap nak lebaran menyiapakan parcel-parcel ini. Kalau tidak, macem mane bak bisa dapat proyek,’’ kata Apeng lagi.
‘’Ape Proyek,’’ Cik Minah kebingungan.
‘’Bang oi, apa itu proyek?’’ tanya Cik Minah kepada suaminya.
‘’Proyek..! ya tukang gali parit, mengecet rumah, semacam itulah. Apa pulak halnya engkau menanyakan proyek,’’ ungkap Cik Amat.
‘’Tak adelah bang. Cume kate Apeng die mengantar bende-benda,’’ kata Cik Minah, sambil memoncongkan mulutnya. ‘’Kate Apeng, benda itu untuk kawan-kawannya,’’ jelas Cik Minah.
Karena masih penasaran, Cik Minah pun kembali menegur sapa Apeng yang hendak pergi mengantar.
‘’Kemana saje engkau mengantar bende itu Peng.’’
‘’Ke Pak Camat Guntul,’’ jawab Apeng.
‘’Camat Guntur dah pindah Peng.’’
‘’Pindah ke mana Pak Guntul. Baru dua hari lalu saye mengajak die makan soup ikan di Nagoya. Tak pulak cerita nak pindah-memindah. Cik Minah membengaklah?’’ tanya Apeng.
‘’Makan sumpah engkau Peng. Masak tue-tue begini engkau bilang membengak. Aku sumpah engkau jadi vampire baru tahu rasa,’’ Cik Minah marah.
‘’Pindah kemana Pak Guntulnya?’’
‘’Entahlah. Kemarin aku nak bikin KTP, kata orang-orang di kecamatan, saat ini tidak melayani pembuatan KTP, karena pak camat lagi tak ade,’’ ungkap Cik Minah.
‘’Kan, masih ada yang lain,’’
‘’Mase-mase saat ini pokoknya tak boleh teken-meneken KTP. Titik. Antar kesini sajelah minuman engkau tu,’’ kata Cik Minah.
‘’Sorry-lah yau…! Kata Apeng langsung melajukan kendaraannya. ***

Yang baca berpahala..

Niat Menikah Lagi

Celoteh Ramadan

KO HENG, baru beberapa bulan ini menjadi seorang muallaf. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, niatnya begitu tulus dan kuat ingin mendalam ajaran agama Islam. Setelah memeluk agama Islam, Leng Me So dan istrinya Mei-Mei, tak henti-hentinya mendatangi para-para kiyai, ustad dan orang-orang tetua di sekitar rumahnya. Suami-istri ini terus menggali ajaran-ajaran dalam Al-Quran, menjauhi semua larangan.



Kebiasan buruk, seperti minuman keras, berjudi, dan makanan yang dilarang oleh agama Islam, benar-benar sudah ditinggalkan Ko Heng.
‘’Ko Heng..! Mei-Mei, kalau sudah menjadi seorang muallaf, dan memeluk agama Islam, janganlah setengah-setengah, betul-betullah menggali, mengamalkan dan menjalankan ajaran Islam. Jangan dicap orang, hanya Islam KTP saje.’’ Cik Amat memberi pelajaran kepada Ko Heng dan Mei-Mei.
‘’Betul tu Pak Cik,’’ kata Ko Heng.
‘’Kebiasaan-kebiasaan buruk dahulu, kalau tidak bisa ditinggalkan secara dratis, perlahan-lahan dihilangkan. Lame-lame kebiasaan buruk itu akan hilang sendiri. Ape lagi sekarang bulan Ramadan, diperbanyaklah amal ibadah,’’ jelas Cik Amat.
‘’Betul Ko Heng,’’ timpal Cik Minah.
‘’Bulan Ramadan ini banyak-banyaklah mengaji, dan bersedekah..! terutama kepada anak yatim dan kaum miskin, seperti..!’’ ujar Cik Minah.
‘’Seperti ape Cik Minah,’’ jawab istri Ko Heng, Mei-mei.
‘’Seperti kami ini,’’ kata Cik Minah tersipu-sipu malu. Mendengar itu, mata Cik Amat pun, langsung terbelalak merah.
‘’Ko Heng, jangan engkau dengar betul cakap Minah itu. Anggap angin lalu saje,’’ ujar Cik Amat menahan rasa malu.
‘’Tak ape-apelah Pak Cik. Niat kami pun nak memberi Cik Minah sedikit rezeki,’’ jawab Ko Heng.
‘’Dengar tu bang. Kalau sudah ade niat, tak boleh dilanggar, harus dikerjakan segera,’’ ungkap Cik Minah mendapat angin.
‘’Begitu Mak Cik?’’ tanya Mei-mei.
‘’Iye.. harus begitu. Nah, kalau niat mike-mike bedua ini hendak memberikan rezeki kepada aku, harus dilaksanakan,’’ kata Cik Minah lagi. Cik Amat yang melihat perangai istrinya itu, langsung saja menyeletuk.
‘’Betul Ko Heng. Kalau ade niat itu harus dilaksanakan segera. Sebab, aku ingin berniat menikah lagi, jadi segera dilaksanakan pernikahan,’’ celetuk Cik Amat.
Mendengar perkataan suaminya, merah pedamlah muke Cik Minah. Kalaulah tidak ade orang, atau tidak bulan Ramadan, mungkin sudah dicekau-nya muke lakinya itu.
‘’Sudah nak mampus pun masih menggatal,’’ gerutu Cik Minah langsung pergi meninggalkan suami dan tamunya. ***

Yang baca berpahala..

Ngabuburit

Celoteh Ramadan

‘’HENDAK kemane tu Desi,’’ tegur Cik Minah, ketika Desi melintasi depan rumahnya. Hari baru menunjukkan pukul 15.00 WIB petang, Desi dan anak-anak sudah keluar rumah. ‘’Jam tiga petang sudah keluar rumah, apa tidak masak untuk menyiapkan berbuka puasa. Atau mau makan di luar,’’ sindir Cik Minah yang tengah menyapu halaman.


‘’Eh..! Maaf Cik Minah saya mau mengajak anak-anak saje. Maaf Cik Minah, anak-anak saye sudah pada rewel,’’ jawab Desi.
‘’Mau mengajak ke mana anak-anak? Apa laki di rumah n’dak marah, kalau tak masak,’’ kata Cik Minah lagi.
‘’Maaf Cik Minah. Tidak!’’
‘’Mau mengajak ke mana?’’ tanya Cik Minah lagi.
‘’Maaf Cik Minah. Mau mengajak anak-anak ngabuburit,’’ jawab Desi terpaksa melayani pembicaraan dengan Cik Minah.
‘’Apa!. Astagfirullah..! mengape pulak engkau nak ngabur-bur…! Hei Desi apa engkau tidak puasa. Dan lagi pulak mengape engkau mengajarkan anak yang tidak-tidak, pakai Ngabur-bur..’’ kata Cik Minah terperanjat mendengar perkataan Desi.
‘’Maaf Cik Minah, iya. Saya teh dengan anak-anak mau ngabuburit di mall. Maaf Cik Minah, saya permisi dulu. Maaf ya,’’ jawab Desi langsung pergi meninggalkan Cik Minah yang kebingungan.
‘’Ya ampun..! ape-apelah budak si Desi itu. Masakkan mengajak anak-anaknya ngabuburit, pakai teh lagi,’’ gerutu Cik Minah, langsung melenting masuk ke rumah menjumpai suami. ‘’Nah..! ini gosip baru lagi,’’ gumam Cik Minah.
Sementara Cik Amat, telentang telanjang dada di bawah jendela. Matanya terpejam-pejam, mencoba tidur siang, tapi tidak bisa, karena diganggu istrinya.
‘’Bang oi..!’’
‘’Huh.. ape lagi issue yang engkau sampai!’’
‘’Itu bang Desi tetangga kita, mengajarkan anaknya tak baik,’’ jelas Cik Minah.
‘’Tak baik seperti apa?’’ tanya Cik Amat, tapi matanya tetap terpejam.
‘’Itu bang. Masakan Desi mengajarkan anaknya ngabu-burit, pakai teh lagi bang. Kan itu perkataan kotor dan tidak baik untuk disampaikan kepada anak-anaknya. Apalagi pada bulan Ramadan ini,’’ jelas Cik Minah.
‘’Itu bukan perkataan kotor Minah,’’ ungkap Cik Amat.
‘’Kalau tidak perkataan kotor apalagi bang. Coba abang simak. Kabur-bur…! Eh tak baiklah saya ucapkan, batal pulak puase nantinya,’’ jelas Cik Minah.
‘’Minah..! Minah.. ! Ngabuburit itu bukan perkataan kotor, itu bahasa sunda. Artinya pergi jalan-jalan sore. Sementara, teh itu adalah bahasa tambahan. Bukan teh yang kita minum,’’ papar Cik Amat. Mendegar itu, Cik Minah hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. ***


Yang baca berpahala..

Minta Jadi Wali Kota

Celoteh Ramadan

MENDENGAR penjelasan istrinya, mulut Cik Amat terperot-perot menahan geli. Nak tertawa terbahak-bahak, takut istirnya meradang, dan merusak kosentrasi Cik Minah untuk beramal pada bulan Ramadan. Tidak tertawa, hati Cik Amat macam digelitik, geli rasanya.



Bagaimana pun Cik Amat mengakui, tentang ciri-ciri turunnya Lailatul Qadar, yaitu Bumi menjadi terang benderang, pohon-pohon sujut, air menjadi beku, suasana menjadi hening. Bagi orang yang melihatnya, seakan-akan ada cahaya berkilau menyinari dirinya. Namun yang membuat Cik Amat merasa geli, kenapa pulak istrinya merendam kaki dalam air di baskom, apa tidak ada jalan lain untuk mengetahui datangnya malam Lailatul Qadar tersebut.
‘’Minah..! minah..! Lailatul Qadar itu turun tidak sepengetahuan kite. Kalau bukan kita yang ditakdirkan Allah untuk melihatnya, mane-kan mungkin dapat melihat Lailatul Qadar. Jadi tak perlulah engkau merendam kaki dalam baskom, macam orang kena kutu air saja, merendam kaki dalam air garam,’’ jelas Cik Amat.
‘’Bang oi..! saye melakukan semua ini untuk berjaga-jaga. Siape tahu, Lailatul Qadar turun, aku sudah mengetahui dengan cepat. Sebab, Lailatul Qadar itu turun begitu cepat perginya,’’ terang Cik Minah.
‘’Baiklah Minah. Tapi, kalau malam baik itu turun, engkau nak minta ape. Kate orang-orang, siapa yang dapat melihat cahaya itu datang, maka semua permintaan akan dikabulkan,’’ papar Cik Amat.
Mendengar itu, berserih-serih wajah Cik Minah. Matanya berbinar-binar. Entah apa yang dipikirkan, sehingga dia termenung sekejab.
‘’Saye nak minta menjadi orang kaya raya di Kota Batam. Semua orang kaya di Batam ini dikumpulkan, masih kalah dengan aku,’’ terang Cik Minah.
‘’Setelah minta menjadi orang kaye di Kota Batam, ape lagi yang engkau minta Minah?’’
‘’Aku minta wajah aku terus cantik dan kelihatan muda, walau pun usia sudah lanjut. Biarlah abang tua sendirian, saye tetap cantik jelita,’’ Cik Minah semakin semakin semangat menjelaskan.
‘’Kemudian ape lagi yang engkau minta?’’
‘’Nah yang penting bang, saye nak minta supaya saye terpilih menjadi walikota,’’ kata Cik Minah. Mendengar itu, mengakaklah Cik Amat. ‘’Kak..! kakk..kik.. kik..,’’ Cik Amat tertawa terbahak-bahak.
‘’Minah..! Minah..! mendengar permintaan engkau yang serakah itu langsung Lailatul Qadar tak turun-turun ke rumah ini. Mintanya banyak betul dan aneh-aneh lagi. Sudahlah Minah jangan berhayal. Kalau mau beribadah, beribadah saje, jangan ada embel-embelnya. Minta menjadi walikota pulak, berat persaingan menjadi walikota itu. Sadarlah wahai istriku yang tue peot,’’ ejek Cik Amat. ***

Yang baca berpahala..

Menyusu (2)

Celoteh Ramadan

KIK…kik.. kik.. Cik Amat tertawa terkikik-kikik, sambil memegang perut mendengar penuturan cucunya. Sementara, Cik Minah hanya membuang mukanya, tak sanggung menahan tertawa. Lain halnya dengan Siti dan Sulaiman, hanya mampu menahan rasa malu, dengan wajah merah padam.



‘’Amboi…! amboi…! Geli betul hati abang nampaknya. Ingat-ingatlah dikit bang, ini bulan pause, tak boleh ketawa banyak betul. Bisa compek pause abang nantinya,’’ kata Cik Minah.
‘’Entah abah ini, cakap budak kecik pun didengar. Mane kan Siti berbuat macam itu. Lagi pulak inikan bulan pause, kan tak boleh berbuat macam-macam pada siang hari,’’ timpal Siti, masih menahan rasa malu, sambil memegang anaknya.
Kalau mengikuti kata hati, budak kecik itu mungkin sudah dipentel, atau piyat, bahkan dicubit, untuk menumpahkan rasa kesal. Tapi demi memikirkan anak supaya jangan meraung-raung, apalagi kini mereka berada di rumah orangtuanya, niat itu diurungkan oleh Siti. Sementara Sulaiman, langsung keluar rumah, pergi entah ke mana.
Namun, lain halnya dengan Cik Amat. Merasa berada di atas angin, kata kunci ‘’ucu emak pun’’ diperpanjang.
‘’Cu..! sinilah. Atok ade permen, mau tak.’’ Tak pelak lagi, Rianto pun langsung berlari dekat datuknya.
‘’Bah.. jangan diajarkan Rian tu yang tak betul?’’ kata Siti, mencoba menahan anaknya. Tapi, budak kecil itu memberontak dan berlari dekat Cik Amat.
‘’Iye bang… jangan abang racuni budak yang tidak tahu menahu itu,’’ tambah Cik Minah lagi.
Dasar Cik Amat. Ungkapan anak dan istrinya tak dipedulikan, bahkan semakin menjadi-jadi.
‘’Berapa kali Ian ucu dengan emak?’’ tanya Cik Amat, berkata pelat mengimbang cucunya. Sang cucu pun hanya menggerak dua jari tangannya. Berarti dua kali.
‘’Ayah..! ayah..! ucu jugak’’. Rian hanya menggangguk, sambil memegang mobil mainnya.
‘’Berapa kali ayah ucu dengan emak?’’ tanya Cik Amat semakin menjadi-jadi. Namun, lagi-lagi jawaban Rian hanya menggerakan dua jari tangannya.
Cik Amat terus saja menanyakkan hal-hal yang jorok. Tak peduli bahwa ini bulan Ramadan, dimana setiap orang beriman tidak boleh mengeluarkan kata-kata jorok, sehingga dapat merusak pahala puasa.
Karena sudah tahan lagi mendengar usilan Cik Amat, akhirnya Siti langsung menyambar anaknya, dan pergi dari rumah orangtuanya. Aksi itu membuat Cik Amat terperangah.
‘’Eeh.. nak kemana engkau Ti?’’ tanya Cik Minah.
‘’Nak balek ke rumah mak. Di rumah ini banyak virus gentayangan yang mengajar budak tak baek,’’ kata Siti dengan muka merah. ***

Yang baca berpahala..

Menyusu (1)

Celoteh Ramadan

LAGI tengah berleha di belakang rumah sambil menunggu salat Ashar, Cik Amat dikejutnya dengan suara budak kecil. Dan suara itu sudah termemori di telinganya. Sehingga, bagaikan tupai, Cik Amat meloncat dari kursi dan menyambut kedatangan bocah kecil tersebut.



‘’Cucu aku datang… cucu aku datang,’’ katanya.
‘’Atok…!’’ teriak seorang bocah. Memang yang datang adalah cucu Cik Amat, anak dari Siti yang baru dua tahun dinikahi oleh Sulaiman, bujangan kelahiran Tembilahan.
‘’Nang.. ning.. nang.. nong..! cucu Atok dah sampai,’’ Cik Amat bernyanyi, berjoget-joget. Mendengar itu, bagaikan dihipnotis, sang cucu pun langsung menggerak-gerak tangan, mendekatinya kakeknya.
‘’Atok.. atok. Ian ade mainan obil-obilan. Main ya tok,’’ Rianto sambil menunjukkan mobilan plastik. Meskipun masih pelat, tapi bocah ini berusaha mengajak kakeknya berbicara. Sementara Siti dan Sulaiman, langsung menyelamai emaknya.
‘’Mike bu due ini pause?’’ tanya Cik Minah.
‘’Puase mak. Masak tak berpuase,’’ kata Siti.
‘’Emak bikin bebuka ape petang ini. Siti dah lame kece nak memakan masakan emak. Maklumlah Siti masak tak pernah sedap seperti yang emak masak. Bang Leman kate ade saja kekurangan masakan Siti?’’ tanya Siti.
‘’Emak masak tempoyang ikan sembilang, same petang rebus, cecah sambil belacan sambal tige (sambal tiga itu belacan, lade dan bawang, red),’’ ungkap Cik Minah.
‘’Sedap tu mak. Rasenya nak makan sekarang, kalau tak ingat berpuase,’’ tutur Siti lagi.
****
SETELAH satu jam bermain dengan Atok-nya. Sang cucu pun minta minuman kepada mamaknya.
‘’Mak.. num..! num ucu mak,’’ kata sang cucu kepada mamaknya.
‘’Eeh.. cucu tak pause?’’ tanya Cik Amat.
‘’Tak..!’’
‘’Kenapa tak pause,’’ kata Cik Amat lagi.
‘’Ayah tak ace,’’ ungkap cucunya.
‘’Membengak tu bah!’’ sahut Sulaiman yang sedari tadi hanye diam menonton televisi.
‘’Masak iye ayah engkau tak pause’’.
‘’Tadi, ian engok ayah ucu emak. Ian ugak ucu emak’’. Mendengar itu, merah padam wajah Sulaiman dan Siti.
‘’Tak usah percaya betul bah. Maklumlah Rianto ini budak kecik. Manelah tahu ape-ape,’’ kata Siti langsung menarik anaknya. ***

Yang baca berpahala..

Melamar Pegawai

Celoteh Ramadan

CIK Minah sibuk membuka kantong plastik yang selama ini tersimpan di dalam lemari. Satu persatu kertas berwana-warni itu dibilek-bileknya. Kertas itu sudah kelihatan agak kekuning-kuningan.



‘’Ape yang engkau sibukkan itu Minah, mengganggu aku tidur saje. Dari tadi kresak-kresek?’’ kata Cik Amat, sambil memeluk bantal guling.
‘’Saye nak menengok ijazah saye bang,’’ jawab Cik Minah.
‘’Untuk ape pulak engkau tengok ijazah tu Minah. Khan kite sudah menikah, tak perlulah pakai ijazah segala,’’ kata Cik Amat lagi.
‘’Bang, waktu salat tarawih, saye dengar ibu-ibu cakap, sekarang ada penerimaan pegawai negeri, di Karimun terima pegawai, bupati Natuna terima jugak, bupati Kepri, juga menerima pegawai, bahkan Batam pun menerima pegawai,’’ jawab Cik Minah.
‘’Kalau pun ade penerimaan pegawai negeri, ape pulak hubungan dengan engkau Minah,’’ tanya Cik Amat.
‘’Itulah abang ini. Saye ini nak melamar menjadi pegawai negeri. Sudah bosan saye menjadi pegawai ibu rumah tangga [P-IRT], gajinye tak cukup,’’ jawab Cik Minah, berkemas-kemas.
‘’Sadarlah Minah… engaku itu sudah tua, tak mungkin diterima menjadi pegawai negeri. Lagi pulak engkau cume tamatan madrasyah, tidak masuk hitungan. Bikin penat badan saje,’’ jelas Cik Amat.
‘’Hei bang. Jangan menyepelekan. Biar pun begini, saye lulusan terbaik di sekolah saye. Pokoknya, tecelek saje matahari abang harus membantu saye mengurus surat menyurat di kantor Camat Batuampar,’’ ketus Cik Minah.
‘’Memangnya ade penerimaan bagian ape?’’ tanya Cik Amat lagi.
‘’Bagian umumlah. Pokoknya yang umum-umum,’’ jawab Minah.

****
SEKITAR pukul 09.00, Cik Amat dan Cik Minah pergi ke kantor Kecamatan Batuampar, mengurus persyaratan menjadi calon pegawai negeri. Di kantor camat, Cik Minah melihat orang begitu ramai, dengan maksud dan tujuan sama.
‘’Amboi bang, kenapa ramai betul orang di kantor camat ini. Ape ada demo tak, atau ada pembagian THR dari Pak Camat?’’ tanya Cik Minah kepada lakinya.
‘’Semua orang ini mau mengurus menjadi calon pegawai negeri, seperti niat engkau tu?’’
‘’Budak dare cantik-cantik, dan bujang-bujang ensem itu nak jadi pegawai negeri jugak bang?’’
‘’Iyelah. Itulah yang menjadi saingan engkau. Aku rase, panitia akan memilih calon pegawainya yang cantik, yang ganteng, tidak tue-peyot seperti engkau ini Minah,’’ ungkap Cik Amat.
Dengan muke masam Cik Minah tidak peduli dengan celoteh lakinya. Dia tetap antrian untuk mengurus persyaratan calon pegawai negeri. ***

Yang baca berpahala..

Kue Melaka Membuat Celake

Celoteh Ramadan

SEPANJANG jalan, dengan sepeda motor merah merek astuti [astrea tujuh tiga], wajah Cik Amat terus sumringah. Orang tua ini masih membayangkan wajah anak dara yang menjual kue untuk berbuka puasa.
‘’Wajah budak dare itu putih mengkilat, macem telur ayam yang baru dikupas. Nah cube dibayangkan, macem mane bentuknya telur ayam yang baru dikupas, tentu licin mengkilat,’’ gumanya.


‘’Selain itu jugak. Hidung budak-budak dare itu mancung, panjang kedepan. Tak macam hidung bini aku, macam buah jambu, pesek mengembang.’’
‘’Nah..! ditambah lagi, rambutnya panjang, hitam tergurai. Macam mayang kelapa, lurus terjuntai-juntai. Kate orang sekarang ini model rambut rebounding. Kalau rambut bini aku, sedikit keriting, dan berwarna keputih-putihan. Beruntunglah bujang-bujang Batam ini jika mendapatkan budak dare itu,’’ Cik Amat berkata sendirian. Sepeda motor Astutinya terus mengaung-ngaung, mengarah pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, Cik Amat langsung menjumpai bininya yang sedang menghidangkan berbuka puasa. Ada sambal belacan, pakai ulam petai yang dibakar, gulai ikan sembilang, kopi hitam secangkir besar.
‘’Ape abang sudah beli kue lapis yang saye pesan?’’ tanya Cik Minah.
‘’Ape, engkau minta beli kue lapis.’’
‘’Jadi abang beli kue ape?’’ tanya Cik Minah lagi.
‘’Tadi...! Tadi…!’’ kate Cik Amat tergagap-gagap.
‘’Tadi.. ape bang!’’ seru Cik Minah
‘’Tadi aku dengar, engkau minta beli kue melaka, jadi beli belikan kue melaka 20 biji,’’ jawab Cik Amat.
‘’Ape bang. Kue melaka!’’ sergah Cik Minah lagi.
‘’Iye. Kate budak gadis itu, yang bulat-bulat pasti disukai wanita. Nah, aku belikan kue melaka ini untuk engkau,’’ jawab Cik Amat.
‘’Kalau sudah tengok kening budak gadis mengkilat dikit, meleleh-lah air liur abang tu. Permintaan bini langsung lupa. Tue-tue keladi, makin tue, makin menggatal,’’ Cik Amat naik spaning.
‘’Eeh.. janganlah dinda ku sayang marah-marah. Ini bulan puase tak boleh marah-marah. Banyak-banyak berzikir. Kalau sudah terlanjur, terima ape sajelah,’’ bujuk Cik Amat kepada bininya.
‘’Abang macam tak ingat saje. Kue melaka inilah yang membuat aku celaka. Gara-gara makan gue melaka, gigi aku tanggal dan tertelan, sehingga buang air besar pun berdarah dibuatnya. Lagi pulak memang dasar abang, kalau sudah tengok anak gadis, bini di rumah pun lupe. Tak sudi makan gue melaka itu, makanlah abang sendirian,’’ marah Cik Minah merajuk. ***


Yang baca berpahala..

Yang Bulat, Yang Disukai (1)

Celoteh Ramadan

‘’Cik...Cik.. ! Amboi-amboi ramainya umat..!,’’ gumam Cik Amat, ketika melihat orang begitu ramai di pasar kaget yang terletak di jalan Komplek Ruko …… Harap dimaklum saja , kawasan ini sudah menjadi tradisi tiap tahunnya, sebagai kawasan pasar kaget bulan Ramadan.



Di kawasan ini, antara pembeli dan penjual berbaur menjadi satu. Begitu juga dengan jenis makanan, mulai dari kerang rebus, kepiting masak, ikan-ikanan, bahkan sambal ikan teri pun dijual disini.
Soal kue-mueh. Disinilah tempatnya, mulai dari kue lapis, kue malaka, lupis, godok pisang, lepat pisang, dadar gulung, serabi, bakwan udang, lemang tapai, empek-empek palembang dan segala macamnya ada disini.
Melihat banyaknya orang membeli, hingga berdesak-desakan, lupelah Cik Amat dengan makanan pesanan istrinya.
‘’Eeh.. lupe aku. Tadi Minah pesan minta belikan ape ye,’’ Cik Amat berkata kepada dirinya sendiri.
‘’Dadar gulung atau lupis ye..! aduh, kenape pulak aku jadi lupe,’’ kata Cik Amat lagi.
Cik Amat terus berjalan. Lirik sana, lirik sini, melihat makanan yang ada. Sehingga, sampailah pada salah satu kounter yang penjualnya seorang budak dare cantik jelita. Memakai kerudung berwarna gading, rambut panjang terurai diikat ke belakang. Sang anak dare itu tidak hanya sendirian, tetapi ada lima orang, yang semuanya molek-molek.
Cik Amat berhenti dihadapan budak-budak dare tersebut. Sambil membelik-belik makanan, sekali-kali matanya menjeling ke arah budak dare itu. Dalam hatinya berkata; ‘’Kalau aku muda-muda dulu, sekali suit saje, budak-budak ini sudah mengepet dekat aku,’’ gumanya, sambil memperbaiki letak kopiah yang miring diterpa angin.
‘’Ini kue ape namenya?’’ Cik Amat bertanya, purak-purak tak tahu, sambil menunjuk salah satu kue.
‘’Ini adalah kue lapis, rasa strowbery. Bapak nak membeli rasa ape?’’ tanya si penjual.
‘’Kalau yang ini kue ape namenya?’’ Cik Amat purak-purak tidak tahu.
‘’Ini kue malaka. Kalau di Sumbar namenya Onde-onde. Tapi kalau orang Natuna menyebutkan kue Ebol. Sebab die bulat seperti bola, dan banyak disukai orang,’’ kata si budak dare tu lagi.
‘’Haik..! jadi yang bulat-bulat itu banyak disukai orang?’’ tanya Cik Amat.
‘’Betul pak. Ape lagi kalau bulatnya kecik, saye paling suke dan para kaum wanita paling suka. Tak susah payah masuk ke mulut,’’ tutur si budak dare itu.
‘’Nah, bapak beli saje kue yang bulat-bulat ini, pasti istri bapak suka.’’
Dirayu, Cik Amat pun langsung membeli 20 biji kue malaka itu. ***

Yang baca berpahala..

Kepunan Durian

Celoteh Ramadan

DENGAN muka masam, Cik Amat pulang ke rumah. Bini menegur pun tidak diperdulikannya.
‘’Bang oi, darimana, sejak pagi keluar rumah, dah nak tenggelam matahati baru pulang?’’ tegur Cik Minah. Tegur sapa Cik Minah pun tidak disahutinya. Orangtua ini pun terus merudu (terus berjalan, red) masuk ke kamar mandi, dan berwudhu untuk menunaikan salat Ashar.



‘’Puase pun..! pause lah!, jangan bini menegur tak menyahut. Dipekakan Tuhan telinga baru tahu rasa,’’ kata Cik Minah lagi, sambil melototi suaminya yang masuk kamar, menunaikan rukun Islam. Hati Cik Amat benar-benar gundah, memikirkan durian yang jatuh dan dimakan anak tetangganya.
‘’Ee…! Ini pasti ada yang tidak beres. Jangan-jangan telinga laki aku ini memang lagi ’heng’. Tak biasenya die diam seribu bahasa seperti ini,’’ guman Cik Minah, sambil mengucau-ngucau sambal belacan yang dimasak dalam kuali.
Beberapa menit kemudian, Cik Amat pun selesai menunaik ibadah salat. Melihat suaminya keluar kamar, Cik Minah pun langsung menyongsong suaminya.
‘’Ade ape ni abang. Muke macam ‘’UK-UK’’ saje. Buang tabiat ke bulan pause ini?’’ tanya Cik Minah penasaran.
‘’Tak ade apelah Minah?’’
‘’Itu muke abang macam ditampar beruk saje. Bini menegur tak menyahut. Macam tunggul saje bini di rumah ini!’’.
‘’Kenape pulak awak nak temberang!’’ sergah Cik Amat.
‘’Bukan temberang abang oi, cume risau saje menengok awak macam itu. Balek-balek ke rumah macam orang bisu. Assalamu’alaikum saje awak tak berikan kepada orang yang ade di rumah,’’ tutur Cik Minah penasaran hal ape yang membuat suaminya menjadi pendiam.
‘’Iyelah. Maaf kan saye. Cume abang kepunan saje nak makan durian,’’ ungkap Cik Amat.
‘’Hai..! tue-tue pun masih ade kepunan jugak?’’
‘’Tak itulah. Ini bukan pause, aku jalan-jalan, kece’ pulak nak makan durian. Tadi aku diberi orang durian sebutir. Ketika bawa pulang terjatuh di depan rumah budak degel tu. Langsung diembatnya pulak durian awak,’’ cerita Cik Amat. Mendengar itu, pahamlah Cik Minah, sebab-musababnya.
‘’Sudahlah bang janganlah bersedih. Itu sudah tak rezeki kite,’’ kata Cik Minah.
‘’Kesal saje nengok budak degel itu. Tak pernah jera-jeranya. Emak-bapak ape tak mengajar,’’ gerutu Cik Amat.
‘’Namenya jugak budak-budak bang. Bagus abang mengaji saje, mudah-mudahan segala gunda gulana abang itu hilang,’’ ujar Cik Minah. ***

Yang baca berpahala..

Berkelahi Malam Hari

Celoteh Ramadan

MERASA dicuekin, Cik Amat pun mulai memasang strategi. Apalagi cucu satu-satunya, masih tetap digendong Siti, agar tidak lepas ke tangannya. Maklum sajelah, kalau Rianto sudah bermain dengan Cik Amat, bermacam kelakuan tak senonoh pun langsung keluar pada hari itu juga. Sehingga, Siti dan Sulaiman, tidak bakalan melepaskan anaknya kepada Cik Amat.


‘’Kalau mike nak bebual di belakang, pergi sajelah, tetapi, biarlah cucu aku itu bermain dengan aku,’’ kata Cik Amat, dengan telanjang dada, duduk diberanda rumahnya. ‘’Celepak..! celepek..!’’ Cik Amat mengipas-ngipas badannya dengan baju singlet yang sudah berwarna kekuning-kuningan.
‘’Rianto belum tidur bah. Biarlah die tidur, nanti nangis pulak, dan mengacau orang bebuka,’’ sahur Siti dari dalam.
‘’Cu..! sinilah dekat atok,’’ teriak Cik Amat.
‘’Atok ada permen isap-isap, sedap rasenya. Kesinilah Cu..! tak usah dengar cakap emak engaku tu,’’ pekik Cik Amat lagi. Bagai gayung bersambut, mendengar gula-gula Rianto langsung menggeliat dari pelukan emaknya dan berlari ke tempat Cik Amat. Melihat itu, terpengarahlah Sulaiman, Siti maupun Cik Minah.
‘’Sudahlah mak, bakalan kacau, kalau Rianto ketemu dengan abah,’’ kata Siti bercakap dengan emaknya. Cik Minah hanya menarik nafas panjang.
‘’Sudahlah Ti, lantak dielah, kalau itu yang membuat dirinya senang,’’ jawab Cik Minah.

***
SETELAH Rianto mendekati dirinya, Cik Amat pun langsung menyerahkan gula-gula isap kepada cucunya.
‘’Acih ya tok,’’ Rianto mengucapkan terimakasih kepada Cik Amat yang disambut dengan anggukan. Mendapat gula-gula, Rianto langsung mengajak datoknya bercakap-cakap, walaupun masih pelat.
‘’Atok..! abah ahi ‘ngan emak,’’ kata Rianto.
‘’Ape, abah engkau berkelahi dengan emak,’’ kata Cik Amat, yang disambut anggukan oleh Rianto sambil mengisap-isap gula-gula tangkai.
‘’Abah ahi ‘ngan mak, alam-alam. Abah ‘tas, emak awah,’’ tutur Rianto.
‘’Jadi abah engkau kelahi malam hari dengan emak engkau. Abah di atas, emak engkau dibawah,’’ Cik Amat berupaya menjelaskan ucapan Rianto. ‘’Ape emak engkau tidak nangis?’’ tanya Cik Amat.
‘’Emak tak angis. Emak awe-awe!, emak ilang, bang..! bang..!’’ kata Rianto.
Mendengar pembicaran Rianto dengan Cik Amat, Siti, Sulaiman dan emaknya Cik Minah hanya mengurut dada.
‘’Memanglah abah engkau tu. Tak usah engkau dengar Ti,’’ kata Cik Minah, membujuk anaknya. ***


Yang baca berpahala..

Durian Jatuh Dimakan Sudin

Celoteh Ramadan

SETELAH mendapatkan durian perai [gratisan, red], dengan wajah tersengeh-sengeh, Cik Amat pun mengengkol sepeda motor buntutnya, pergi berlalu di hadapan Akiong. Warga keturunan ini, dengan wajah yang masam dan memerah, melototi kepergian Cik Amat.


‘’Sialan tu olangtua, sudah nak mampus pun masih pandai pulak berdemontrasi depan kita. Mimpi apelah oe semalam,’’ Akiong termenung memikirkan nasib sial yang dia terima hari itu.
‘’Rasa-rasanya aku tak adelah mimpi buruk,’’ gumamnya, sambil memegang durian. Orang bertanya berapa harga durian pun tidak dipedulikannya.

***
Sementara Cik Amat, dengan kecepatan 30 kilometer per jam, mengendarai sepeda motornya menuju rumahnya di bengkong dengan membawa sebutir durian, pemberian dari Akiong.
‘’Saye bukan memeras. Cuma suara saje meninggi, lantas die ketakutan. Kemudian kenapa pulak die memberikan aku sebutir durian?’’ Cik Amat penuh tanda tanya.
‘’Kalau memang sudah nasib beruntung ditambah pakai ilmu penjinak, cakap dikit saje orang sudah ketakutan,’’ guman Cik Amat. ‘’Kalaulah ilmu penjinak pemberian orang tue-tue ini bisa digunakan untuk menjinak bom, tentulah aku kaye raye,’’ Cik Amat bercakap-cakap sendirian. Matanya menerawang, melotot kedepan.
Dan, Duk..!
‘’Astaqfirullah..! hampir saja aku terpelanting dari motor,’’ Cik Amat kaget, karena dia baru saja melanggar ‘’polisi’’ tidur tinggi yang melintang di tengah jalan, tidak berapa jauh dari rumahnya. Entah karena mendapatkan durian gratis, sehingga dirinya lupa ada polisi tidur di jalan dekat rumahnya.
‘’Celaka. Betul-betul celaka. Memang engkau tak dapat dipercaya,’’ Cik Amat menyumpah di tengah-tengah jalan.
‘’Ade ape pak Cik merepet disiang hari,’’ tegur Nurbaya.
‘’Ini gara-gara laki engkau menyemen jalan tingi betul, aku nyaris mampus dibuatnya,’’ gerutu Cik Amat. Belum habis kekesalannya, setelah melanggar ‘’polisi’’ tidur, Cik Amat terkejut, karena durian yang dia gantung di belakang motornya hilang entah kemana.
‘’Cari ape lagi Pak Cik?’’ tanya Nurbaya lagi.
‘’Durian aku hilang’’.
‘’Ape durian Pak Cik hilang. Jadi…!’’ Nurbaya terpengarah
‘’Jadi ape Bayah..!
‘’Anak saya Sudin baru saje makan durian. Katanya dapat di tengah jalan,’’ terang Nurbaya. Mendengar itu, lemaslah lutut Cik Amat.
‘’Betul cakap engkau tu Minah,’’ sahut Cik Amat langsung pergi mengaji. ***


Yang baca berpahala..

Dilarang Uhuk! Uhuk!

Celoteh Ramadan

BEBERAPA menit suasana menjadi hening. Cik Amat tidak mengeluarkan kata-kata. Sementara, Ko Heng dan Istrinya hanya perpandang-pandangan mata. Pertengkaran mulut antara Cik Amat dan Cik Minah, membuat Ko Heng dan Mei-mei merasa tidak nyaman berlama-lama berada di dalam rumah tersebut.


Tapi, karena niat tulus untuk mendalami agama Islam, perasaan itu ditanamnya dalam-dalam, sehingga mereka berdua terus duduk terpaku di depan Cik Amat, yang masih kebingungan dengan sikap bininya itu.
‘’Eeh..! maaf ye, jangan kalian bedua ini ambil hati, melihat sikap Cik Minah engkau tu. Maklumlah, bini aku itu memang modelnya agak lain daripada yang lain. Bini aku sangatlah unik orangnya,’’ cerita Cik Amat.
‘’Unik bagaimana Pak Cik?’’ tanya Ko Heng penasaran, tentang keunikan Cik Minah, yang selama ini orang tidak mengetahui. Sebab, Cik Minah itu memang terkenal suka usil dan tukang mengerumpi.
‘’Pokoknya uniklah. Kalau aku menceritakan semuanya, rasa tak baik pulak mencerita baik-buruk keluarga. Walaupun begitu, die itu istri aku juga, sudah dua puluh lima tahun kami menikah. Susah senang, kami lalui bersama,’’ kenang Cik Amat. ‘’Namun, supaya kalian jangan penasaran tentang keunikan istri aku itu, baiklah aku akan mencerita satu hal saje,’’ jelas Cik Amat.
‘’Terserah Pak Cik saja.’’ Jawab Ko Heng dan Mei-mei serentak.
‘’Bini aku itu, kalau mau tidur pasti membuang angin jahat dahulu. Kalau membuang angin, pasti menungging. Dan kalau tidur malam, selalu menangis. Itulah yang aku rasakan setiap malamnya. Tapi, itu pulak yang membuat lucunya,’’ tutur Cik Amat.
‘’Baiklah, sampai dimana pembicaraan kite tadi. Kok melantur-melantur entah kemana,’’ jelas Cik Amat.
‘’Itu Pak Cik, tentang hal-hal yang dilarang selama bulan Ramadan, terutama pada siang hari,’’ tanya Ko Heng.
‘’Yang jelas,’’ kata Cik Amat. ‘’Hal-hal yang dilarang pada bulan Ramadan, terutama pada siang hari adalah, makan, minuman, berjudi, mengeluarkan perkataan tak senonoh, dan…’’
‘’Dan ape lagi Pak Cik?’’ tanya Ko Heng penasaran.
‘’Dan Uhuk..! uhuk..! pada siang hari pada bulan ramadan ini. Hukumnya adalah, harus menggantikan puase dan membayar pidiah selama dua bulan berpuasa berturut-turut. Kalau bisa ditahan, janganlah melakukannya pada siang hari. Kalau pun hendak melakukan uhuk..! uhuk..! lakukanlah pada malam hari saja,’’ jelas Cik Amat.
‘’Baiklah Pak Cik, kami sudah menerima segala ilmu-ilmu agama. Mudah-mudahan dapat kami amalkan dan kami kerjakan,’’ tutur Ko Heng, yang langsung permisi meninggalkan rumah Cik Amat. ***


Yang baca berpahala..

Demam Vibrator

Celoteh Ramadan

AHYAR Tarempa beberapa hari ini tidak masuk kerja. Hal ini membuat Cik Amat runsing tak kepalang. Betapa tidak, semua pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh Ayar diperintahkan pak lurah harus ditangani oleh Cik Amat. Mulai dari mengurus surat masuk dan keluar, men-stempel, memberi nomor kartu keluarga, mengatar surat-menyurat, hingga menangani urusan lainnya, harus dilakukan oleh Cik Amat.



Padahal sebelumnya, pekerjaan itu dilakukan oleh Ahyat Tarempa tersebut. Namun apa boleh buat, karena kawan menderita sakit, pekerjaan itu iklas-tidak iklas, harus dikerjakan juga.
‘’Din, ape sakit Ahyar, kawan awak tu. Dah tiga hari tak baik-baik. Kate orang-orang zaman dahulu, kalau tige hari tak baik-baik berbahaya?’’ tanya Cik Amat kepada Udin Bengkalis, kawan satu rumah Ahyar.
‘’Entahlah Pak Cik. Saye pun tak mengerti ape penyakit yang idap budak Ahyar itu. Kalau pagi badannya panas. Siang-siang dikit, sejuk. Sekali-sekali menggigil, bergetar, macam demam vibrator, badannya begegar Pak Cik. Lepas itu haus, kepala pening, badan lemas, tidur pun dah payah,’’ cerita.
‘’Amboi…! Amboi..! kalau mendengar cerita engkau tu Din, teruk sangat penyakit budak Ahyar tu. Cik..! Cik..! kasihan. Emak jauh, abah jauh, bini tak ade, jangan-jangan cewek pun tak ade. Kalau begitu memang teruk sangatlah Din?’’ kata Cik Amt penasaran.
‘’Itulah Pak Cik. Entah sakit ape pulak yang hidap budak Ahyar tu Kadang-kadang kasihan juga saya tengok. Nah pergi ke rumah sakit, duit tak ade pulak. Lain lagi kalau dah malam,’’ cerita Udin Bengkalis makin semangat.
‘’Nah, kalau malam macam mane pulak kejadiannya. Menggigilkah, vibrator kah, panas dingin atau ape?’’ Cik Amat semakin penasaran mendengar cerita Udin, tentang penyakit kawan sepekerjanya itu.
‘’Kalau malam Pak Cik.’’
‘’Iye, kalau malam macam mane?’’
‘’Kalau malam, die duduk berselimput di depan jendela rumah, memandang langit-langit yang hitam. Menung pun bukan sekejab, lame Pak Cik. Kadang-kadang sampai berjam-jam, tak tidur-tidur sampai pagi. Lepas itu baru tidur, itu pun sebentar,’’ jelas Udin.
‘’Waktu die menung-menung tu, apakah bercakap sendirian, atau tersengeh-sengeh sendirian?’’ Cik Amat terus bertanya.
‘’Karena dia menung sendirian, takut terjadi ape-ape, saya pun tidak bisa tidur. Paling-paling tidur-tidur ayam saje. Nah, saye tengok, saya dengar di keheningan malam itu, tidak pulak die bercakap sendirian, atau tersengeh-sengeh. Biase saje Pak Cik. Cuma mungkin niat hendak bermenung,’’ Udin Bengkalis mencerita semua perihal kawan satu kamarnya. ***

Yang baca berpahala..

Demam Kure-kure (2)

Celoteh Ramadan

CIK Amat berpikir tentang penyakit kawan satu kantornya itu. Kalau lihat dari gejalanya, badan panas, lepas sejuk. Kemudian, badannya bergetar seperti vibrator. Kalau dikatakan demam vibrator.
‘’Penyakit ape pulak demam vibrator tu. Apa memang ada penyakti baru yang menyerang kite sekarang ini?’’ tanya Cik Amat lagi kepada Udin Bengkalis, yang sekali-kali mengecap surat-surat yang hendak diteken Pak Lurah.



‘’Entahlah Pak Cik. Yang saye tengok macam itulah gejalanya,’’ jelas Udin.
‘’Din..! din…!’’
‘’Iye Pak Cik.’’
‘’Aku rase budak Ahyar itu kena penyakit kure-kure tak?’’’
‘’Ape Pak Cik! Penyakit kure-kure! Mak… lebih teruk lagi dari penyakit demam vibrator tu,’’
‘’Iye Din.’’
‘’Jangan nak merapek Pak Cik,’’ ketus Udin.
‘’Engkau ni macam tak percaya cakap orang tue.’’
‘’Bukan tak percaya Pak Cik. Mane kan ade demam kure-kure, sebab Ahyar tidak pernah makan kure-kure. Kalau di Jawa sekarang ini tengah heboh penyakit antraks yang disebabkan mengkonsumsi daging yang terkena virus antraks. Nah penyakit kure-kure ini, tentulah disebabkan oleh binatang kure-kure, yang kate orang adalah labi-labi. Sumpah lillah, kami tak pernah makan daging kure-kure,’’ jelas Udin, balik penasaran mendengar penuturan Cik Amat.
‘’Lagi pulak Pak Cik. Inikan bulan puasa, bulan yang dimuliakan oleh Allah, jadi tak baik memakan, makanan yang tak jelas seperti kure-kure itu Pak Cik,’’ ungkap Udin.
‘’Penyakit kure-kure itu Din, bukan disebabkan mencekik-kedarah kure-kure ninja,’’ jelas Cik Amat, dengan nada mulai meninggi.
‘’Jadi disebabkan oleh ape Pak Cik?’’
‘’Kure-kure itu, kate orang tue-tue adalah penyakit demam menggigil itulah. Nah, kate para ahli kesehatan sekarang ini.’’
‘’Amboi cakap meninggi, dan berhasa Indonesia nampaknya,’’ timpal Udin, tersengah.
‘’Bukan meninggi, cume menjelaskana penyakit. Nah, kate para ahli kesehatan, penyakit kure-kure itu adalah demam malaria yang disebabkan oleh nyamuk. Obatnya adalah pil Kina yang pahit, yang kelat,’’ jelas Cik Amat.
‘’Oh..! penyakit malaria, bilang dari tadi. Kalau begitu biarlah saye belikan Pil Kina, biar budak Ahyar cepat sembuh, bise puase. Dosa dah banyak pun?’’ kata Udin Bengkalis.
‘’Ayolah, saye pun belum sempat nak tengok. Mari kita pergi bersama-sama,’’ kata Cik Amat, yang langsung pergi bersama Udin ke rumah Ahyar. ***

Yang baca berpahala..

Dada Tak Busung

Celoteh Ramadan

SUDAH hampir dua jam Cik Minah berdiri tercacak tegak, dekat pintu gerbang masuk kantor Kecamatan Batuampar. Dua laki-bini ini begitu setia menunggu giliran mengurus kartu kuning, dan persyaratan lainnya.



Sekali-kali dengan selendang kuning keemasan, Cik Minah menyeka keringat yang keluar sebesar biji jagung, bergulir di pipi, menggerintil di kening kiri dan kanannya. Begitu juga Cik Amat, tata letak kopiahnya berwarna agak kekuning-kuningan sudah tak beraturan lagi.
Langkah Cik Amat dan Cik Minah, beringsut-ingsut seperti siput bangkong, menuju ruang pelayanan.
‘’Sudahlah Minah, batalkan saje niat engkau tu nak menjadi pegawai negeri. Aku sudah letih berdiri, keringat pun sudah mencucur macam hujan saje. Kalau begini terus, bise bebuka aku nantinya,’’ gerutu Cik Amat kepada bininya.
‘’Baru berdiri sekejab saje, abang sudah letoi. Kalau letih pergi duduk bawah pohon itu, biar aku tegak sendirian. Bise pun aku mengurus sendiri,’’ jawab Cik Minah ketus, sambil menunjukan sebatang pohon rindang yang berdiri gagah di depan kantor Camat Batuampar.
‘’Tak kuasa bertengkar di bulan Ramadan, Cik Amat pun terpaksa mendampingi istrinya, walaupun dalam hatinya menggeurut. ‘’Aduh..! batallah puase aku hari ini. Minah-minah,’’ katanya dalam hati.
Jam tangan sudah menunjukkan pukul 12.30 siang, barulah giliran Cik Minah mendapatkan pelayanan administrasi. Sesampai di ruang pelayanan, alangkah terkejutnya Cik Amat, melihat Pak Camat yang begitu mereka kenal, berdiri dengan gagahnya di belakang pegawainya.
‘’Engaku tengok Minah, Pak Camat ade disitu, malu aku Minah. Pasti die itu mengejek aku nantinya. Batalkan saje niat engkau tu,’’ kata Cik Amat menarik tangan bininya. Tapi, karena sudah niat harus di jalankan, Cik Minah pun langsung saja menyelonong ke depan pegawai.
‘’Oi Cik Amat, nak ngurus ape?’’ pekik Pak Camat.
‘’Tak adelah?’’
‘’Itu bini Cik Amat nak mengurus kartu kuning, nak melampar menjadi pegawai negeri ke?’’ tanya Pak Camat lagi.
‘’Entallah,’’ sahut Cik Amat malu.
‘’Dah tue lesut pun nak menjadi pegawai. Orang mencari pegawai yang bedelau, kening mengkilat, dade busung ke depan, bukan badan seperti papan. Macam Cik Minah itu, kalau dikasih bedak dan gincu tak lengket. Kik…kik…’’ pak Camat tertawa terkekeh-kekeh. Dengan muke merah, Cik Amat langsung menarik tangannya dan pergi meninggalkan kantor Camat.
‘’Sudah aku cakap engkau, pasti pak camat mengejek aku. Khan, malu aku dibuatnya?’’ kata Cik Amat langsung pergi. ***


Yang baca berpahala..

Cik Minah Cerita UMK

Celoteh Ramadhan

SEUSAI salat tarawih, dengan berjalan terhegeh-hegeh, Cik Minah terburu-buru pulang ke rumah, menjumpai suaminya Cik Amat, yang juga baru pulang dari masjid dekat rumahnya.
‘’Bang oi..! tadi saye mendengar cerita budak-budak tu, masjid,’’ tegur Cik Minah.



‘’Cerita tentang ape pulak yang engkau dapat. Baru saje kita mendengar ceramah dari pak ustazd. Selama bulan Ramadan ini kita mendengar yang baik-baik sajelah. Kalau ade cerita yang sifatnya merusak, mencompek-compek pahala puasa kita lebih baik tak usah didengarkan,’’ kata Cik Amat.
‘’Bagus engkau bikin aku kopi, itu lebih baik, besar pahalanya karena telah melayani suami dengan baik,’’ tutur Cik Amat lagi.
‘’Ini cerita baik bang. Budak-budak di masjid itu bercerita tentang u-em-ka. Kate mereka-mereka itu bang e-em-ka bakalan naik. Mantap tu bang,’’ cerita Cik Minah semangat.
‘’Apenya yang mantap.’’
‘’Kitelah yang mantap. Kalau u-em-ka naik, kita bise mengurangi biaya pengeluaran,’’ ujar Cik Minah semakin semangat.
‘’Ape engkau tahu, ape itu u-em-ka?’’ tanya Cik Amat.
‘’Kate budak-budak di masjid itu, u-em-ka itu adalah singkatan dari uang makanan kantor. Arti, uang makanan kantor abang akan naik,’’ papar Cik Minah lagi, sambil mengadukaduk air kopi suaminya. Lalu, dia menyodorkan segelas kopi kepada Cik Amat.
‘’Selain itu bang. Budak-budak itu juga menyebut-nyebut Apindo bang.’’
‘’Ape pulak Apindo itu Minah. Engkau banyak tahu hal-lah.’’
‘’Nah, masih menurut budak-budak tu bang. Katanye, Apindo itu kepajangan dari Anggota Pegawai Indonesia. Abang kan walaupun hanya seorang staf umum di keluarahan Bengkong Laut ini, kan termasuk anggota pegawai Indonesia. Jadi uang makan kantor anggota pegawai Indonesia [u-em-ka apindo] naik kan bang,’’ papar Cik Minah.
‘’Minah..! minah..! itu yang aku cakapkan, jangan terlalu banyak mendengarkan hal-hal yang bisa meracuni pemikiran engkau tu. Engkau macam tak tahu saje, aku ini pegawai negeri rendahan. Kepangkatan aku saje hanye golongan I-B, entah termasuk eselon berape, jadi taklah mungkin u-em-ka apindo tu naik,’’ jelas Cik Amat.
‘’Jadi tak adelah kenaikan gaji abang tu?’’
‘’Tidaklah…. Pegawai negeri naik gaji, kalaupun naik pangkat. Kalau pangkat aku tak naik-naik, manekan gaji naik. Sudahlah Minah, bagus engkau tadarus, mengaji biar tambah pahala. Kite ini sudah tue, tak usah memikirkan u-em-ka apindo lagi,’’ kata Cik Amat, yang dianggukan oleh Cik Minah. ***

Yang baca berpahala..

Beli Durian

Celoteh Ramadhan

PUT..! Put…! Cik Amat menghentikan sepeda motor buntut model tahun 70-an, tepat di depan penjual durian yang berada di pinggir jalan. Turun dari sepeda motornya, Cik Amat langsung membelek-belek (melirik-lirik) beberapa jenis durian.


‘’Ini dulian asli Bangkok,’’ terang Akiong si penjual durian di tepi jalan.
‘’Kalau dulian Bangkok harganya 7.800 per kilogram. Kalau dulian Malasyia harganya mahal dikit, sembilan ribu rupiah per kilogram. Bapak mau yang mana,’’ kata Akiong lagi.
‘’Dulian ini paling enak pak, apalagi bulan puasa, bisa bikin bubur kacang hijau campur dulian, di makan berbuka,’’ Akiong makin memperjelas keenakan buah dulian.
‘’Selain itu Pak. Dulian Bangkok ini isinya bulat mengkilat, ada ujungnya, tidak lembek, kalau dipegang masih kenyal. Kalau dibikin bubur Pak, waduh isinya tidak lontoklah,’’ tambah Akiong.
‘’Tak usaha engkau jelaskan tentang durian. Aku ini sudah berumur 60 tahunan, tentu lebih banyak aku makan durian daripada engkau. Mungkin sekarang ini engkau makan durian, karena engkau berjualan,’’ tutur Cik Amat dengan ketus, karena telinganya sudah pekak mendengar penjelasan Akiong, ditambah lagi aroma durian yang menyengat hidung. Bulan puasa lagi, bagaimana rasanya menahan lapar dan haus setelah mencium bau durian tersebut.
‘’Jadi! Bapak ini mau beli atau tidak?’’ tanya Akiong lagi.
‘’Engkau ini asyik nak memekak saje. Iyelah, aku nak beli isi durian Tanjungbatu, atau durian Bengkalis, berapa satu kilo?’’
‘’Hai ya..! bapak ini bagaimanalah.. oe hanya menjual dulian Malaysia dan Bangkok, dulian Tanjungbatu tak ada lah..!’’
‘’Awak itulah, tak cinta dengan buah-buah sendiri, asyik nak menjual punya orang. Yang kaye, khan petani Malaysia dan Bangkok, petani kite miskin semue, karena mike tak mau membeli dan menjualnya,’’ ungkap Cik Amat dengan suara melengking, dengan tangannya menunjuk-nunjuk muka Akiong.
Mendengar suara Cik Amat yang keras, beberapa pengendara motor dan orang-orang yang berjalan kaki langsung berhenti, mendekati Cik Amat. Akibatnya, suasana menjadi ramai, jalan pun menjadi macet. Klakson kendara, bunyi knalpot pun memekakan telinga.
‘’Ada apa ini…! Ada apa ini..! tanya orang-orang yang berhenti. Cik Amat dan Akiong menjelaskan perihal yang menyebabkan mereka bertengkar.
‘’Bagi sajelah durian satu butir kepada orangtua ini Pak Akiong. Anggarap saja bersedekah pada bulan puasa,’’ ungkap seseorang.
‘’Nah, betul capak awak tu nak,’’ kata Cik Amat. Dengan berat hati, Akiong pun memberi sebiji durian kepada Cik Amat. ***


Yang baca berpahala..