ENTAH mengapa, aku begitu benci dengan makanan otak-otak. Jangankan untuk mencicipi, mencium aromanya, melihat bentuknya yang dibungkus dengan daun berwarna hijau, tergolek di atas tungku saja sudah muak.
Pernah suatu siang, aku berjalan bersama anakku di depan sebuah rumah makan. Aku melihat seorang pedagang, dengan wajah ceria, mengipas-ngipas makanan otak-otak ketika dipanggang. Melihat keceriaan si pedagang, ingin rasanya aku mengambil semua otak-otak tersebut, dan melemparkan ke dalam selokan, comberan yang busuk, sehingga aroma sedapnya tak tercium oleh hidungku.
Oh..! yang lebih membuat aku marah besar, bagaikan kesetanan, karena anakku Ditha, merengek-rengek minta belikan otak-otak. Waktu itu, aku berusaha membujuknya untuk tidak memakan otak-otak. Aku bilang sama Ditha, jangan memakan otak-otak, karena tidak enak, toh juga terbuat dari ikan, dan sotong yang digiling, atau sama dengan chiken nugget. Dan Mama akan menggantikan makanan yang lebih enak, bergizi, berprotein tinggi, harganya mahal. Seperti, hamburger, pizza atau steak sirloin, atau apa saja makanan yang diminta, asal jangan otak-otak.
“Tidak…!’’ jeritnya.
Ditha, tetap tidak mau! Aku tambah pusing. Bagaimana membujuknya? Anakku merengek-rengek. Malah menangis, tetap menginginkan otak-otak. Sebab, dia pernah memakannya ketika berada di sekolah taman kanak-kanak. Waktu itu, ada seorang temannya membawa dua keping otak-otak. Satu keping diberikan kepada anakku. Ditha mengkonsumsinya dengan lahap. Katanya enak, dan belum pernah dia menikmati makanan seperti ini. Dia mengangguk bosan, ketika teman-temannya menceritakan betapa enaknya makan pizza. Ditha ngaku belum pernah menikamti makanan tradisional seperti ini.
Bahkan, cerita teman-temannya, Ditha minta dibawakan lagi otak-otak tersebut ke sekolah. Dan melahap bersama teman-teman, sambil bercerita tentang boneka dolphin yang aku belikan ketika aku berada di Singapura. Mendengar cerita itu, aku langsung depresi berat. Denyut jantungku berdetak kencang. Bahkan, aku sempat dilarikan ke dokter spesialis jantung. Dokter bilang, aku terkena ‘Angin’ (angina pektoris), merupakan penyakit nyeri dada sementara atau suatu perasaan tertekan, yang terjadi jika otot jantung mengalami kekurangan oksigen.
“Kebutuhan jantung akan oksigen ditentukan oleh beratnya kerja jantung kecepatan dan kekuatan denyut jantung. Aktivitas fisik dan emosi menyebabkan jantung bekerja lebih berat dan karena itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan jantung akan oksigen,” dokter Andi menjelaskan kepadaku. Aku hanya bisa menatapnya nanar. Perasaan tertuju kepada hukum yang akan aku terima nantinya, karena anakku telah memakan otak-otak
“Jika arteri menyempit atau tersumbat, sehingga aliran darah ke otot tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung akan oksigen, maka bisa terjadi Ikemia dan menyebabkan nyeri pada dada hingga ke belakang atau ke punggung,” penjelasan dokter Andi semakin tidak dapat aku mengerti.

***
WAKTU aku mengandung bayiku yang pertama, maaf, terpaksa aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya: bayi itu hasil perselingkuhanku dengan seorang pejabat di daerah. Aku masih ingat, usia kehamilan baru empat bulan, aku ngidam ingin makan otak-otak. Aku membelinya sebanyak 20 keping, dan aku memakan seluruhnya. Satu pun tak bersisa. Malam harinya, perutku terasa sakit sekali. Muntah! Dan parahnya, dari selangkangku, keluarlah tetes darah. Aku pun pingsan,
Aku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sayup-sayup telingaku merekam pembicaraan dokter, bahwa kandunganku tidak bisa bertahan di dalam janin. Aku keguguran. Dan harus dioperasi dengan melakukan korek, mengeluarkan gumpalan darah yang masih berada di dinding rahim. Aku langsung memvonis, penyebab keguguran karena makan otak-otak.
Penderitaanku bertambah panjang, tatkala suami pertama dari pernikahan resmi menggugat cerai, karena aku dianggap mandul, setelah empat tahun menikah tanpa dikaruni keturunan. Aku berusaha melakukan check medical di dokter kandungan, pengobatan alternatif, bahkan berbagai terapi kedukunan aku lakukan, asalkan aku bisa hamil. Tetapi hasilnya tetap nihil. Lagi-lagi, aku memvonis, bahwa penyebab penderitaan panjang ini adalah karena makan otak-otak.
Setelah resmi bercerai, aku mengikuti saran teman-teman untuk melakukan operasi induk telur di rumah sakit Elisabeth Singapura, sebelum mengambil keputusan untuk menikah lagi, jika akhirnya kembali bercerai. Kepada dokter aku menceritakan, semua persoalan, termasuk pernah mengadung, walaupun akhirnya keguguran. Dengan harapan aku bisa sembuh.
Dokter spesialis kandungan dan penyakit dalam, langsung melakukan check medical. Kesimpulan dokter, bukan disebabkan oleh makanan, tetapi di rahimku mengandung virus rubella, dan terjadi kelukaan dinding rahim ketika dilakukan pengoreksi saat keguguran. Dokter bilang, dapat disembuhkan, tetapi dalam waktu lama dan biaya ribuan dollar Singapura. Aku menyanggupinya.
Hampir dua tahun aku mengikuti terapi di rumah sakit Elizabeth Singapura, dan dokter menyatakan aku sembuh. Dan boleh hamil lagi. Perasaanku masih was-was, benarkah apa yang diungkapkan dokter?Aku memutuskan tidak akan menikah. Jadi, bagaimana untuk mengetahui kalau rahimku terbebas dari virus rubella? Akhirnya, aku putuskan untuk melakukan hubungan seks dengan pria yang berjanji mau bertanggungjawab, jika aku hamil.

***
Beberapa kali aku merasakan kenikmatan bersetubuh dengan pria, setelah beberapa tahun tidak pernah merasakan bagaimana melakukan hubungan seks. Aku jadi kaku dan grogi ketika berada di atas ranjang. Dan pada bulan kedua, hubungan gelap kami, aku terlambat haid. Perasaanku berdebar-debar, apakah aku hamil. Secepatnya aku pergi ke dokter kandungan.
“Selamat, Bu, Anda mengandung…!’’ kata dokter. Aku masih tidak percaya. Dokter memperlihatkan hasil scane komputer, bahwa indung telurku sudah membesar, dengan ukuran 21 inchi. Dan indung telur ini akan terus membesar, hingga menjadi jabang bayi.
Jabang bayi itu aku beri nama Elizabeth Ditha. Tapi, anakku senang dipanggil Ditha, dari pada Eli. Tetapi, pria yang telah membuahi rahimku, pergi entah ke mana, setelah aku mengandung dan perusahaan bangkrut. Namun, aku tidak mempedulikan ke mana laki-laki itu pergi.Aku sudah bahagia bersama anaku Ditha.
Tetapi, keinginan anakku Ditha, kembali menghantui kehidupanku. Aku tidak menginginkan nasib yang aku derita dengan memakan otak-otak, membuat Ditha tidak bisa mengandung, mandul, dan operasi seperti aku. Sehingga anakku menjadi pelampias nafsu laki-laki. Puas, lalu pergi meninggalkan. Walaupun sampai hari ini aku belum dapat membuktikan kebenarannya.
Mengenang kejadian itulah, yang membuat aku marah besar kepada Ditha, ketika dirinya minta dibelikan otak-otak. **

1 comments:

JaCk said...

Greetings from Italy :D