Cengkeh Berbunga
Cerpen : Andra S Kelana

TERIK matahari berpijar, terus saja menjilat kulit wanita berkerudung hitam. Titik-titik cahayanya, seumpama lidah api yang menjulur dan membakar kulitnya yang putih. Air laut yang asin, meniupkan aroma hamis, menusuk hidung. Tapi, wanita berkerudung hitam itu tidak bergeming. Dia masih berdiri tegak diujung dermaga antar pulau, tempat persinggahan kapal-kapal barang dari Midai, Sarasan, Tarempa, Letung, Tanjungpinang, maupun pulau-pulau sekitarnya.
Wuss!
Angin laut menampar wajahnya. Kerudung hitam, sekali-kali tersibak, dan kelihatan tengkuknya yang putih dihiasi bulu roma halus. Tetapi, hari itu. Rabu, dia ingin menghabiskan waktunya menantikan kapal kargo datang menghampiri dengan membawa sang bujang yang menjadi kekasihnya bernama Sulaiman. Pria inilah yang ingin mempersunting dirinya, tetapi gagal karena tidak sanggup menyiapkan jutaan rupiah uang antaran, sebagai syarat untuk mempersunting dara-dara di kampungnya.
‘’Sudahlah Nur.! Tak perlu engkau menanti jantan yang tak jelas itu. Engkau pilihlah satu diantara kami berlima ini. Muka sudah hansem, rambut keriting, duit pun segepok di dompet, ape lagi,’’ Wan Syamsir menggoda gadis berkurung hitam. Orang di kampung sering memanggil Nurmala, karena memang wajahnya cantik bercayaha.
‘’Betul Nur. Tak perlulah engkau bersusah payah menunggu Leman yang tidak jelas. Jangan-jangan diapun dah bebini pulak di kampung orang,’’ Hardi, menimpal, memasang kuda-kuda, agar dirinya menjadi nominasi pilihan Nurmala.
‘’Nurmala! Nurmala!, kenapa awak ni teruk sangat menunggu-nunggu orang yang tidak peduli lagi. Aku tengok pun badan awak sudah semakin kelihatan tua. Kalau tahun ini engkau tak berkahwin juga dengan kami-kami ini. Alamak..! jadi perawan tua,’’ ejek Nazaruddin.
Sememangnya, Nazaruddin dari dulu ingin sekali melamar Nurmala, tetapi citanya hanya bertempuk sebelah tangan. Nur lebih memilih Sulaiman, yang hanya memiliki kebun Cengkeh sebanyak 5 hektar. Sedangkan Nazaruddin merupakan keturunan orang berada. Kebun Cengkeh berpuluh-puluh hektar, ada kapal tongkang menangkap ikan. Ibarat kata, berapa pun permintaan uang hantaran pertunangan diminta, mungkin akan dipenuhi oleh keluarga Nazaruddin, asalanya Nurmala menerima pinangan anaknya.
Tak bergeming!
Nurmala tidak menghiraukan ejekan yang menyayat hatinya. Terkadang dia berpikir secara akal sehat, untuk apa lagi menunggu pria yang sudah bertahun-tahun meninggalkan dirinya. Ketika jiwanya lagi gundah-gulana seperti ini. Jiwanya yang kosong, terbesit juga dihatinya untuk tidak menghiarukan lagi pria bernama Sulaiman. Dan dia akan menguburkan impian cintanya bersama Sulaiman di tengah-tengah bukit.
‘’Sudahlah Nurmala untuk apa engkau menunggu Sulaiman. Dia sudah menikah dengan gadis lain di kampung sana. Lebih baik engkau mencari pria lain saja di kampung sini.’’ Makhluk yang paling terkutuk bernama setan menggoda Nurmala.
Nurmala hampir saja terhanyut bujuk rayu setan!
‘’Astaghfirullah..! Ya Allah ampunilah dosa-dosa hamba, jauhkan setan dari diriku,’’ ucap Nurmala.
Tetapi, karena kata ‘janji’, haruslah ditepati. Walaupun usia sudah semakin berkurang, janji harus dipegang. Itulah kata kesetiaan yang terpatri dan kukuh olehnya. ‘’Orang melayu tak boleh ingkar janji’’ Dan dia yakin, Sulaiman pun akan memegang janji itu.
‘’Abang tetap cinta dengan Nurmala. Abang pergi merantau dan akan pasti pulang jika harga cengkeh di Natuna kembali berjaya seperti dulu. Abang berjanji akan melamar dinda, walaupun umur kita sama-sama tua,’’ kata Sulaiman, sambil mencolek hidung Nurmala.
‘’Tapi…!’’
‘’Tapi apa bang.’’
‘’Asalkan dinda rela menunggu dan tidak dilamar orang. Dindakan cantik, pasti banyak bujang-bujang di kampung ini siap melamar,’’ kata Sulaiman melemparkan senyum. Kata-kata inilah yang selalu dikenang Nurmala. Janji diujung dermaga, bagaikan mahar pertunangan yang tidak boleh dihilangkan begitu saja. Sehingga Nurmala menjadi seorang gadis yang tidak pernah tersentuhkan oleh lelaki.
Pertautan kasih antara Sulaiman dan Nurmala tidak ada satupun insan yang bernyawa sanggup memisahkannya. Tetapi, apa hendak dinyana, jodoh, rezeki dan maut sudah diatur sama Allah SWT, maka perpisahan itu datang juga menghampiri mereka, karena sebuah kebijakan pemerintah dan permainan dari pemerintah dengan menghargai cengkeh di Natuna sangat murah per kilogram.
Harga cengkeh murah!
Sulaiman terpukul. Orang-orang kampung yang memiliki kebun cengkeh marah besar. Ada yang menebang pohon cengkehnya. Ada yang membakar kebunnya, dan beralih ke usaha lainnya. Kebijakan harga cengkeh murah oleh BPPC itu, telah memutuskan mata rantai perniagaan di daerah ini. Warga menjadi miskin. Semua harapan membeli emas, membeli televisi besar yang diinginkan masyarakat, pupus sudah dengan berlinang arimata.
Sulaiman. Pria ini tidak membakar, tidak menebang pohon cengkehnya. Tetapi, dia hanya membiarkan kebunnya menjadi semak belukar, tempat burung-burung menari kesana-kemari.
BPPC. Seperti ombak besar setinggi 6 meter yang menggulung-gulung dan membelah perahu kasih Sulaiman dan Nurmala. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh membuat dirinya, dan cintanya terpisah jauh. Sulaiman merantau, dan berjanji akan kembali untuk naik di pelaminan, jika harga cengkeh di Natuna naik. Sementara, Nurmala, menggadis tua menanti sang pujangga kembali.

***
BERTAHUN-TAHUN lamanya, harga cengkehpun naik. Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membeli cengkeh dengan harga tinggi, walaupun harus disubdisi dari APBD. Langkah ini, merupakan, langkah awal pemerintah daerah membuka kembali jalinan perniagaan dengan para saudagar-saudagar luar daerah, yang dulu memang sempat mengalami masa keemasannya. Pemerintah berharap, pola ini benar-benar dapat menggerakan ekonomi masyarakat tempatan.



Kebijakan inilah yang diharapkan oleh sebagian besar masyarakat di Natuna. Kebun cengkeh yang selama belasan tahun seperti mati suri. Dibiarkan begitu saja. Tidak diurus, bersemak belukar, bercendawan, mati..! Namun setelah pemerintah daerah, melakukan subsidi dengan menaikan harga cengkeh, wajah-wajah petani cengkeh yang dulunya kuyu, kini mulai bergairah kembali. Bahkan ada di antara warga petani yang mencari bibit cengkeh untuk peremajaan.
Nurmala!.
Gadis ini bagaikan disuntik insulin. Wajah yang dulunya, seperti kayu ranting rapuh, berangsur mengeluarkan tunas-tunas kecantikan. Semua rencana yang dulu terkubur dalam-dalam, mulai digali.
Bayangan Sulaiman yang datang dengan iringi-iringan para dayang-dayang membawa tepak berisi hantaran belanja. Bunyi kompang dari belakang, plak…! tung..! takk tung..!, serta disambut silat pengantin dua pria berpakaian hitam, menghiasi kelupuk matanya.
Tak heranlah untuk mewujudkan impian itu, tiap 15 hari sekali, Nurmala selalu pergi ke dermaga menanti datangnya kapal, menjemput sang pujangga. Sebab, Sulaiman pernah mengungkapkan kata-kata; ‘’Abang akan pulang, jika harga cengkeh di Natuna ini naik’’.
‘’Harga cengkeh sudah naik, bang Leman pasti sudah mengetahuinya, dan pasti akan pulang,’’ gumamnya dalam hati. Tetapi apa dinyanya, berminggu-minggu, berbulan-bulan, Sulaiman tak juga pulang ke kampung. Sudah berpuluh-puluh kapal singgah berlabuh, tetapi Sulaiman tak pernah ada.
Setiap orang datang, selalu mendapat pertanyaan dari Nurmala. Apakah pernah melihat Sulaiman di Batam! Tanjungpinang! Kalimantan! Karimun! atau daerah-daerah lainnya. Namun, jawabannya, tidak pernah tahu. Nurmala lemah. Wajah menawannya mulai tak bermaya. Menangis adalah bagian dari hidupnya.
Meskipun cengkeh sudah berbunga indah, harganya naik, tetapi hati Nurmala terasa sepi tak ada yang memiliki. Hatinya tidak pernah berbunga, seperti bunga cengkeh. Bahkan hatinya semakin layu. Harga cengkeh tidak bisa mengobatinya hatinya yang rindu akan Sulaiman.***

0 comments: