Inul dan Moralitas
Oleh : Andra S Kelana

PEREMPUAN! Perempuan itu berhasrat sekali ingin menaklukan Jakarta ! Jepang, Brunai Darussalam, bahkan Amsterdam yang dipernah digoyang dengan ekonomi tubuhnya, tidak membuat perempuan ini begitu puas; Obsesinya bagaimana dapat menaklukan ibukota Jakarta . Mungkin, perempuan ini beranggapan, jika sudah Jakarta dikuasai, maka Indonesia berada digenggamnya. Ada benarnya juga, karena orang selalu berpanduan kepada Jakarta .

Obsesi itu jadi kenyataan. Setelah menerapkan sistem marketing ‘’obat nyamuk’’ – manggung di pinggiran kota seperti Surabaya , Semarang lalu ke ibu kota Jakarta —perempuan itu akhirnya menjadi fenomena baru di pentas musik Indonesia . Semua produk yang selama ini sudah eksis, berubah dratis menjadi produk kadaluarsa. Perempuan ini, membawa formula baru dalam dunia panggung hiburan, yang selama ini menjadi hiburan rakyat dan alternative bagi kalangan tertentu. Ekonomi tubuhnya, yang disebut ‘’ngebor’’ menghipnotis kalangan menengah ke atas, yang duluhnya lebih elegan dengan lagu-lagu jazz, oldies, pop atau cha-cha.

Bahkan, pakar ekonomi Rhenald Kasali pun mengangkat perempuan berobsesi tinggi ini, masuk dalam bedah ekonomi yang dibawanya di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Dan tidak tertutup kemungkinan, perempuan ini masuk dalam quota 30 persen di kursi legislatif, jika memang dapat mengangkat salah satu partai politik, sebagai pemenang pemilu mendatang.

Perempuan berobsesi tinggi itu, bernama panggung Inul Daratista alias Ainur Rokhimah yang kini sudah terkenal dengan goyang ngebor, ditambah lagi dengan pengekangan dalam ekspresi, dan pencekalan di sana-sini. Dua tindakan ini membuat perempuan kelahiran Jawa Timur ini terus boaming, dalam kancah dunia goyang dan musik saat ini. Pencekalan dan pengekangan ini membuat ratting Inul terus meroket. ‘’Pengharaman’’ membawa lagu-lagu tertentu, membuat orang semakin ingin melihat secara dekat, membuat orang semakin ingin mengetahui, apa bentuknya ‘’ngebor’’, yang selama ini mereka hanya melihat dilayar televisi dalam program-program khusus.

Memang diakui, ekpresi politik tubuh Inul Daratista mampu menggeserkan gaya-gaya joget dangdut selama ini. Goyang ngebor Inul yang unik ini, mampu menggeser posisi goyang jaipong, goyang dombret, bahkan ratu joget sejagat tidak dapat menirukan bahasa tubuh perempuan satu ini. Ngebor pinggul Inul, dari atas ke bawah, ke bawah dan ke atas –sulit dihitung berapa jumlah— sangat unik. Bor adalah alat yang dipergunakan orang untuk menembus batu atau kayu. Bahasa tubuh Inul ini, menjadi popularitas di tanah air. Perempuan kampung yang biasanya manggung pada hajjatan perkawinan, kini manggung di layar kaca. Ekonomi tubuhnya mampu merubah gaya hidup Inul Daratista.

Tapi. Dengan strategi ekspresi ekonomi tubuh ini, membuat Inul harus berhadapan dengan orang-orang yang melihat bahasa tubuh Inul dengan negatif, sensualitas, nafsu setan. Inul diharamkan menyanyikan lagu-lagu tertentu, bahkan dilarang untuk naik panggung jika masih ‘’ngebor’’. Perempuan obsesi tinggi ini dianggap telah merusak moral bangsa, sehingga timbullah pencekalan-pencekalan di sana-sini. Kalaulah benar, goyang ‘’ngebor’’ Inul dapat merusak moral bangsa, dapat mengubar hawa nafsu setan, berarti kehadiran Inul, menyentakan kita. Kehadiran Inul membangunkan bangsa ini yang terlelap tidur.

Kenapa demikian? Selama ini kita terbuai dengan mimpi-mimpi lantunan Asereje, Shakira, dan rasukan film-film India yang memamerkan pusar dan goyangnya. Selama ini kita asyik disuguhkan dengan para penari dancer orang Indonesia sendiri, yang berpakai ketat yang menampakkan lekuk, seluk-beluk tubuh, dengan gaya-gaya erotis, plus berpasangan dengan pria. Bahkan sekarang ini para penari dancer di berbagai acara tengah malam, sudah semi telanjang. Pakaiannya hanya menutup bagian tertentu saja, yang lain, sangat mengerikan untuk dipertontonkan.

Ketika kondisi tidak seperti penari dancer ini, hadir dalam diri Inul, perempuan obsesi menaklukan Jakarta ini justeru menuai badai. Padahal banyak orang beranggapan, bahwa bahasa tubuh Inul itu, adalah menunjukkan kreatifitas sebagai seorang penyanyi dangdut. Selama ini hampir semua penyanyi dangdut mempunyai gerakan tubuh yang sama, dan tidak ada inovasi, kreatifitas dalam gerakan tubuh ketika mendengar bunyi drum, seruling maupun gendang. Tetapi Inul mampu memberikan inovasi dan ekspresi yang akhirnya menjadi popularitas.

Budayawan KH Abdurahman Wahid berpendapat lain soal goyang dangdut ‘’ngebor’’ Inul Daratista. Gus Dur menyatakan, agar setiap orang menghormati cara seniman berekspresi. Soal cara berekspresi itu hak setiap induvidu, demikian juga hak untuk tidak suka. Yang menjadi masalah –masih penuturan Gus Dur—bila kita mengajak pihak lain untuk mengikuti sikap ketidaksukaan kepada cara orang melakukan ekspresi. Biarkan masyarakat menilai sendiri dengan netral. Kalau menyimpang dari norma-norma yang disepakati, akan dengan sendirinya ditinggalkan masyarakat.

Inul itu jangan diprotes. Inul jangan dikekang, biarkan saja dia itu berjalan apa adanya. Karena dalam posisi ini, Inul tidak dirugikan, justeru sebaliknya. Dalam trik marketing [pemasaran], pencekalan terhadap Inul justeru, meningkatkan demand para penggemarnya. Trik-trik marketing, dengan mempolemik sesuatu hal, justru akan meningkatkan permintaan. Dan harapan orang yang mempunyai produk adalah berpolemik, ada orang yang meresponi produk dibuatnya, semakin menambah pendapatan si pembuat produk tersebut.

Lihat saja Inul, semakin banyak orang yang mempolemiknya semakin tinggi tarif bayarannya. Bahkan, dalam suatu wawancara, Inul mengatakan, ‘’tanpa goyangan itu, Inul bulan lagi Inul’’. Artinya, bagaimana pun juga Inul tetap manggung di mana-mana, walaupun orang sibuk saja mempolemik dirinya. Hendaknya, masyarakatlah yang harus menilai dan memandang goyang Inul sama dengan goyang penyanyi dangdut lainnya.

Hanya sekedar dipandang, tetapi tidak untuk diperdebatkan, toh pada akhirnya gaya seperti ini akan tenggelam oleh inovasi dan kreatifitas baru. Kalau setiap hari masyarakat disuguhkan dengan gaya seperti ini, lama-lama juga jadi bosan. Karena sifat manusia adalah selalu ingin perubahan dan hal-hal terbaru. Ibarat computer, Inul sekarang ini adalah Pentium V, tapi setahun kemudian, akan keluar lagi Pentium-pentium yang lebih tinggi dan punya processor lebih cepat. Begitu juga halnya Inul.

Dapat saya petik; ketika Inul menjadi bedah ekonomi Rhenald Kasali; ketika ditanyakan, sekarang ini sudah banyak orang meniru gaya goyang ngebor Inul, apa tidak takut akan tergeser nantinya? Dengan entengnya, Inul menjawab akan menciptakan goyang lain. Artinya, bisa saja Inul menciptakan goyang ‘’ngebor’’ ini memiliki kadaluarsa. Setahun, dua tahun atau sesudah pemilu, goyang ngebor sudah tidak ada lagi. Dan akan muncul goyang lainnya.

Beranjak dari kasus Inul Daratista, --perempuan yang sudah menaklukan Jakarta ini--, semuanya tergantung dari kasat mata mana kita memandangnya. Apakah kita memandang secara manajemen Qolbu-kah, atau kita memandang ekspresi Inul Daratista itu dengan hawa nafsu. Kalau kita memandang secara qolbu, kita akan selamat dari terpaan badai yang datang. Kalau kita memandang dari nafsu, yang tentu celakalah.***