Orangtua

Cerpen : Andra S Kelana

ORANG tua itu memasuki kapal. Pakaiannya sederhana, lusuh. Berkopiah hitam kekuning-kuningan. Baju biru laut, celana dongker. Orangtua itu juga memakai sepatu, sama seperti orang lain. Hanya saja merek sepatunya berbeda, begitu juga harganya, tidaklah begitu mahal. Sepatunya pun berlepotan warna dan bentuknya. Tergolong miskinlah orangtua ini, seperti yang diungkapkan oleh pemerintah sebagai keluarga pra-sejahtera? Mungkin saja.
Raut wajah mulai keriputan, bulu-bulu di wajah sudah berantakan. Uban di kepala sudah bertaburan, tak bisa dihitung dengan jari tangan. Ini menandakan bahwa orangtua ini sudah menjelang usia senja. Siap-siap akan menghadapi Rabbi...!
Orangtua itu menempati sebuah kamar. Kamar di sebuah kapal yang ditumpanginya tidaklah seperti suatu kamar eksekutif. Hanya berukuran setengah lancang kanan, dibatasi dengan sekeping papan.

Begitulah keadaan kamar di kapal yang ditumpang orangtua ini. Kalau musim lebaran atau liburan sekolah, kita tidak akan mendapatkan kamar, karena sudah dipesan terlebih dahulu. Begitulah keadaan kapal, maka penumang pun tidur diemperan dekat dengan sayur dan ikan asin. Massallah..!
Kelelahan dengan usianya, begitu terbesit diwajah orangtua satu ini. Umurnya diperkirakan sudah 65 tahun, tetapi sesama orang dia selalu bersahabat. Setelah duduk beberapa saat, dia pun menyapa seorang pemuda disamping kamarnya.
''Dikau hendak ke mane?'' tanyanya parau dengan logat Melayu.
''Bapak hendak ke mana! jawab pemuda itu, berbalik bertanya kepada pak tua.
Tidak dijawab, justeru diberi pertanyaan, orangtua itu mendelik, melihatkan wajah angkernya, meskipun sudah keriputan. Marah, agaknya.
''Kau! aku bertanya, engkau pula balik bertanya,'' sergahnya, sambil berkacak pinggang, menunjuk-nunjuk telunjuk ke wajah pemuda itu.
''Maksud saya bapak mau ke mana,'' pemuda itu tetap bertahan dengan pendapatnya awal, tetapi dengan nada lembut, takut dimarahi lagi oleh orangtua itu.
''Aku tak bisa ditanya budak seperti engkau ini,'' katanya lagi. ''Engkau anak siapa, keturunan siapa, suku ape, tak tahu adat istiadat. Tak berbudaya, badan saje besar panjang, tapi otak tak ade,'' orangtua itu semakin menjadi-jadi marahnya. Kopiah yang semulanya tegak lurus, sudah lintang pukang, dihempasnya ke lantai.
''Ada-ada saja bapak ini. Orang tak boleh bertanya''. Pemuda itu itu menggerutu pada dirinya sendiri. Sedangkan penumpang di sekeliling mereka asyik memperhatikan. Ada yang tersenyum di kulum, ada yang tertawa cekikikan. Sedangkan pemuda itu sudah malas meladeni orangtua yang dianggapnya terkena penyakit gangguan kejiwaan.
''Kamu jangan cakap sembarang, sekarang ini musim pemilu,'' orangtua ini sudah meracau tak tentu arah. Sementara itu, pemuda itu sudah penuh kerisauan, setelah keberadaan orangtua ini. Hendak dia marah, takut kualat. Tapi..
''Hei Pak! apa hubungannya saya bertanya dengan pemilu. Sekarang ini sudah demokrasi, kita boleh berbicara apa saja, tetapi asal jangan meracau seperti bapak itu, karena dapat memekakan telinga orang yang ada di kapal ini,'' kata pemuda itu tak kalahbsengitnya.
''Diam kau! Aku ini lagi sakit, tidak bisa ditanya siapa pun juga, walaupun presiden. Operdomeng and kamu orang ya.. nanti aku lesing, pekak telinga engkau sebelah,''bsergah pak tua itu meratap. Bahasanya sedikit bercampur ke Belanda-an.
***
PEMUDA itu dengan enggan pergi berlalu dari hadapan pak tua. Dia pergi mengitari kapal yang belum berangkat. Tepat pukul 17.00 WIB, terompet kapal meraung-raung, menandakan kapal segera akan berangkat. Semua penumang sudah menempati tempat duduk maupun kamar. Tetapi tidak bagi pemuda itu, dia tetap berdiri dekat pintu masuk kapal, menatap rumah-rumah terapung di tepi sungai.
''Kalau aku duduk, jangan-jangan orangtua itu membuat onar lagi, bikin pusing kepala saja,'' gerutunya dalam hati.
Bersama dengan berangkatnya kapal, muncul tiga orang bule. Bule-bule itu mengambil kamar berdamping kanan dengan orangtua itu. Melihat bule yang datang, pak itu terus melototinya. Aneh mungkin! atau ada rasa kegeraman di hatinya, karena pernah mendenga bunyi dentuman meriam dan amis bau darah di tahun 1945.
***
KAPAL berlalu dari pelabuhan, menyelusuri selat-selat dan sungai. Pemandang sore itu sungguh indah. Air warna kemerah-merahan tenang, bersahabat, tak ada riang gelombang, yang membuat kapal menari-nari. Matahari berwarna merah, berangsur-angsur kembali ke perabuan, meninggalkan rona merah di langit sebelah barat.
Azan magrib berkumdang, dari sebuah surau di suatu perkampungan yang dilintasi kapal itu. Ini menandakan malam sudah tiba, memperlihatkan ribuan kunang-kunang dibpohon-pohon kayu yang hanya menunggu waktu untuk ditebang oleh pemilik HPH.
Ilustrasi alam seperti ini dimanfaatkan oleh bule yang berada di kapal itu. Sementara, sang pemuda hanya bisa menuliskan rangkaian kata puisi alam di dalam hatinya. Seorang itu sibuk dengan kameranya. Pret..!, cahaya bliz dari lampu kameranya meng-scaner pemandang alam itu.
Sedangkan bule satu lagi, memakai handycame, sibuk mendokumentasikan matahari yang berada diujung kayu-kayu hutan. Nelayan yang berkayu-kayu dengan sampan congkongnya pulang ke rumah, dengan memberikan harapan kepada keluarganya.
Beberapa menit kemudian, tiga orang lelaki yang menjadi petugas di kapal tersebut mendatangi setiap penumpang, meminta memperlihatkan tiket, sehingga sampailah kepada pak tua.
''Pak! mana tiketnya?'' tanya petugas itu kepada pak tua itu.
''Tiket apa?'' sahutnya dengan nada tinggi, berbalik bertanya kepada petugas kapal. Orang-orang di sekitarnya mulai mengalihkan bola mata kepada orangtua itu.
''Tiket kapal, bukti pembayaran,'' kata petugas itu lagi.
''Sedap betul engkau meminta tiket pada aku. Walaupun tua-tua bangka, aku ini pejuang '45, membela tanah air. Engkau saja belum lahir, sudah berani meminta tiket pada aku,'' katanya dengan nada tinggi.
''Aku dulu berjuang mati-mati membela tanah leluhur, tak ada orang kasihan. Tengok tangan aku, masih tersemai sebutir peluru. Gaji veteran yang aku terima kecil, tak cukup nak beli beras dan ikan asin. Aku tak mau bayar. Padan muka engkau,'' orangtua itu mulai meracau lagi.
Melihat gelagat yang tak baik, petugas kapal itu lebih memilih meninggalkan orangtua itu sendirian. Biarlah dia larut dengan keheningan cipta, atas toreh prestasi perjuangannya membela tanah nenak moyang.
***
KAPAL terus melaju, menelusuri kesenyap sungai. Gemerik air, dibelah haluan kapal terdengar di telinga dengan jelas. Nyanyian hutan malam, yang dihiasi ribuan kunang-kunang, membuat bule-bule itu semakin asyik. Pemandang seperti tak pernah dia lihat di Amerika Serikat, Jerman, Belanda atau eropa lainnya yang syarat dengan gedung pencakar langit dan lampu ribuan watt.
''Hai..,'' Pak tua itu menyapa bule, sambil melambaikan tangannya.
''Hello,'' bule itu membalas sapaan.
''Fahter?'' kata Pak tua, sambil menunjuk dirinya.
''No. No father,'' jawab sang bule.
''Fahter itu ayah, orangtua, tahu tak dikau,'' sergah orangtua itu pada bule. Hal ini menjadi perhatian ketiga orang-orang di kapal itu.
''No. No fahter,'' bule itu menggeleng keheran-heranan.
''Ayah! Coba engkau sebut,''
''Water itu air!,'' kata orangtua itu lagi. Mungkin sang bule mengerti apa yang dimaksud orangtua di depannya itu.
''A.. i.. r..'' jawab bule itu mengeja-eja huruf demi huruf, seperti seorang bayi yangbbaru belajar berbicara. Bule itu memandangi pak tua cemas. Dia mengemasi barang-barangnya yang berdekatan dengan pak tua.
''Kita harus mengajarkan kepada orang-orang seperti mereka ini bercakap bahasa kita, biar mereka bisa juga bercakap-cakap dengan bahasa Melayu. Bukan kita saja mengikuti kata mereka," komenter pak tua. Bagus juga pikir pemuda itu.
''Ini Riau. Ini kampung Melayu. Aku ini orang Melayu. Jangan macam-macam dengan orang Melayu," katanya pula, entah kepada siapa dia bercakap, menggerutu sendiri.
***
KAPAL terus melaju,belayar ke tujuan. Dendang kerinduan mengikuti rentak mesin-mesin kapal. Keluar dari speaker yang terpasang di langit-langit kapal. Angin berhembus lewat jendela kapal, menerpa setiap penumpang.
Suasana hening, karena sebagian penumpang ada yang sudah terbawa oleh impian, bahkan ada yang mendengkur pulas. Pemuda itu belum juga tidur. Dia menghampiri salah seorang bule yang belum tidur. Mereka saling berkenalan, dialog pun terjadi antara bule dan pemuda itu. Sang bule nampak antusias menanyakan alam Indonesia.
Sementara pak tua itu sudah tertidur pulas. Pemuda itu mamdang pak tua yang berselimpuh kaki karena menahan dingin angin malam, yang berhembus masuk dari celah-celah jendela kapal tersebut.
Setelah dua belas jam perjalan, sirena kapal pun meraung-meraung, menandakan, kapal akan sudah merapat. Penumpang, sibuk dengan barangnya, menaiki tangga, meninggalkan kelalahan dinkapal. Bule dan pemuda pun, dengan wajah kusut masai pergi meninggalkan kesan di dalam kapal tersebut.
Yang membuat pemuda itu terkejut, sejak dari tadi dia tidak melihat orangtua itu lagi.
''Siapa sebenarnya orang itu. Aku lupa menanyakan, siapa namnya,'' gumam pemuda itu bernama Abdul Kadir, dalam hati. Pemikiran berkecamuk tentang perangai orangtua itu.
''Ah..! semoga dia tidak apa-apa,'' hati Kadir berkata-kata. ***

0 comments: