Iwan Wartawan Kesaksian
Cerpen : Andra S Kelana


Laki-laki itu terbangun,. Ketika ayam jantan berkokok marah. Cuaca di luar sangat dingin. Dia berjalan di dekat telingga-telingga adiknya. Bunyi lantai berderak-derak. Namun, tidak membangunkan keempat adiknya yang tidur pulas, oleh dingin subuh yang menyayat tubuh.
Embun pagi masih menetes. Dia telah menerjang ke dalam pelukan dingin pagi. Meniti arus globalisasi kehidupan dunia. Satu prinsip yang selalu di pegang laki-laki itu. Bangun pagi, apabila burung-burung belum terbangun, nanti kalau terlambat, maka kita akan menikmati rezki sisanya burung.
Prinsi ini bukanlah hal yang baru. Tetapi sudah pekak telingga disebutkan orang tua, bila anaknya sering terlambat bangun. Bagi laki-laki itu, pepatah usang seperti ini selalu dipegangnya.
Dia pergi meninggalkan mimpi malam. Berjalan menelusuri warna trotoar. Dingin pagi menyentak-nyentak tulang sudah menjadi sarapan pagi. Sebongkah tas berwarna biru, tersandang dibahu. Menutupi kekurangan hidup. Begitulah peliknya dunia, yang harus diterjang, tanpa harus berkata bosan.
Celana jeans kumuh berwarna coklat. Baju coklat, merupakan favoritnya. Inilah ciri-ciri khas sang laki-laki itu. Tubuh tinggi namun kurus. Muka berjambang, berkacamata minus. Sementara orang-orang berdasi, sehat dan gemuk-gemuk. “Mereka juga memakan uang pajakku”, kata laki-laki itu.
Tak enak rasanya aku menyebut laki-laki itu. Dari tadi aku terus menyebut laki-laki itu. Baik, aku sebut namanya saja, Iwan. Begitulah orang-orang memanggil laki-laki itu. Astagfirullah, mengapa aku sebut laki-laki lagi. Padahal dia sudah punya nama Iwan. Ya, Iwan. Tidak punya embel-embel. Sepeerti Kepala Bagian di kantor. Wakil Kepala Anu. Bahkan pejabat ini.


IWAN terus berjuang melawan keras perekonomian yang bergantung kepadanya. Adik-adiknya masih bersekolah. Belum bisa untuk mencari sesuap nasi. Apalagi kalau adik perempuan. Harus dijaga mahkota kesucian. Biar kita miskin dengan perekonomian. Tetapi kita tidak melacuri kehidupan dengan harga diri mencari kekayaan.
Di rumah, Iwan selalu menerapkan demokrasi. Bebas bicara. Boleh protes padanya. Boleh mengungkapkan apa saja yang penting. Asal protes membangun. Iwan tidak maarah. Benci pun tidak. Bahkan dia bangga diprotes.
Keluarga Iwan tidak sseperti keluarga burung, atau masyarakat lain. Bila protes, berarti musuh. Bila kritik, termasuk penghianat. Zaman Nabi saja tidak demikian. Masyarakat seperti ini boleh dikatakan sebagai keluarga burung.
Keluarga burung janganlah dicontoh. Sang induk memang baik dengan anak-anaknya. Ketika sang anak menderita, apalagi sampai cacat seperti patah sayap. Maka dia langsung mencampakkan anak-anaknya. Jadi keluarga burung, tidak mensyukuri amanat Tuhan.
Penyakit kejiwaan menghantui perasaan. Kadang kalanya penyakit ini membuat dia harus stress. Marah,. Tetapi marah pada siapa. Pada adik-adik? Mereka belum tahu apa-apa. Mereka hanya tahu meminta, menadahkan tangan. Kitalah yang harus berpikir. Apa penyakitnya. Tidak terus terang dengan permasalahan yang ada
“Aku tidak dapat membantumu, kalau kau tidak terus terang padaku. Apa masalah engkau. Ringan sama dijinjing. Kalau berat pikulah seorang. Dan jangan kamu ceritakan keluhmu pada aku. Aku sudah pekak semuanya,” tutur Neklous, teman akrabnya.
“Ya, itulah penyakit jiwaku,” ucapnya, mendesah. Seakan melepaskan semua beban yang menjadi parasit pada dirinya.
Begitulah Iwan. Hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Dia tidak bisa mendengar nasehat orang. Tetapi demokrasi katanya. Benar. Demokrasi bagi Iwan, hanyalah demokrasi mendengaar, bukan demokrasi menerapkan. Begitulah kebanyakan orang sekarang ini. Tidak pernah menjalankan apa yang dinasihatkan orang, padahal nasehat itu bermanfaat buat mereka.

***
. PEKERJAAN Iwan adalah perjuangan dari kata-kata. Kuli tinta. Tidak pernah terikat dengan jam kantor. Tidak seperti instansi lainnya. Harus terikat dengan jam kantor. Walaupun tidak ada pekerjaan, tetap mengantor, walaupun hanya bermain batu domino.. Tetap juga kerja di kantoran.
Jam kerja Iwan, sebanyak dua puluh empat jam. Selagi bumi berputar. Tak peduli siang maupun malam, terus bekerja. Sejenis setan apa pekerjaanmu, Wan? Orang bilang wartawan. Iwan tidak pernah menyebut diri wartawan. Bukannya Iwan aku tidak bangga dengan pekerjaan. Tetapi sekarang ini banyak waartawan yang tidak idealis lagi. Harga diri dijual dengan selembar kkertas Rp. 10.000-an. Rendah kali harga diri kita., yang selalu dijunjung tinggi.
Berita-berita hasil goresan pena Iwan. Banyak pejabat menjadi sesak nafas. Bahkan ada pejabat yang masuk kerumah sakit, ketika tulisan berita Iwan, menyangkut dirinya. Begitulah Iwan, sebagai seorang penyaksi kejadian.
Ada yang memeras pejabat. Ada yang memutar balik fakta. Menurut mereka pekerjaaan wartawan, tempat mencari uamg,. Oh… menjeritlah guru-guru si pejuang pers, pasca kemerdekaan. Kalau wartawan, sudah gelap matanya dengan uang.
Sesuatu ketika datanglah rekan-rekannyadari wartawan. Mereka menanyakan kepada Iwan, di mana lokasi basah yang dapat menebalkan kantong. Apa kata Iwan.
“Abang-abang ini, malulah sedikit. Jangan kerja memeras orang saja. Tulis saja yang menjadi kenyataan. Ini tidak. Kalau berita baik di muat. Berita tak baik, minta duit, lalu dibuat baik-baiklah berita itu.”
“Sombong betul dikau ini,” jawab seorang wartawan kepadanya. Wartawan-wartawan tersebut sebanyak 7 orang. Pada prinsipnya mereka itu sama, satu ide dalam mengerjakan hal demikian.
“Bukan saya sombong, Bang, tapi kalu abang hendak mencari duit, carilah sana. Jangan Tanya-tanya pada saya?” marah Iwan suatu ketika. Lalu dia pergi meninggalkan kawan-kawannya.
Begitulah Iwan. Idealismenya selalu tertanam dalam diri. Biar tak makan asal harga diri tak terjual. Di media massa, tempat dia bernaung boleh dianggap Iwan anak mas. Bukan karena pimpinannya saudara. Tidak,. Tidak ada hubungan pimpinan redaksi koran dengan diri Iwan.
Iwaan dari Utara sedangkan Pimpinan Redaksi ari barat, ketemunya di tengah-tengah. Prinsip Iwan, yang menjadi contoh rekan-rekan redaksinya adalah tidak pernah meminta apa-apa. Di suruh membuat berita sebanyak 10, maka Iwan memberikan berita sebanyakm 15. Alangkah senangnya pimpinan dengan sifat tabiat seperrti itu.

***
HAMPIR satu bulan, nama Iwan tidak mencuat lagi disurat khabarnya. Biasanya Iwan selalu menuliskan yang selalu memberi andil pada koran. Seperti naiknya oplah. Karena berita memang sangat panas dan banyak di senangi orang. Baik dimuat
Ulasan-ulasan dalam berita, memuatkan data-data akurat. Tidak pernah asal tembakberita saja. Kebanyakan wartaawan-wartawan begitu. Hanya mendengar isu langsung ditulis.
Tetapi sebelum ditulis pergi dulu ke pejabat anu. Lalu di bilang “Apakah berita ini perlu ditulis atau tidak”. Tidak segan-segan mereka selalu menentukan tariff berita, jika berita tidak dimuat.
Pembaca selalu bertanya, ke mana perginya wartawan gila satu ini. Bahkan dikalangan redaksi pun. Gelisah separuh mati. Bukan karena apa, ulasan yang membuat gemukkoran tidak ada yang dapat dihandalkan. Taakut. Takut dicekal. Takkut matilah. Semuanya takut. “Takut itu hanya ada dalam diri kita. Penyebabnya kita kurang percaya diri,” kata Iwan, suatu ketika.
Beberapa minggu kemudian, aparat kepolisian menyingkap. Atas ditemunya seorang laki-laki, namun laki-laki telah meninggalkan ganasnya dunia.
Tim forensic kepolisian. Menemukan kejanggalan-kejanggalan kematian laki-laki yang mereka temui, di sebuah apartemen Hotel, diantaranya, ada bekas pukulan, dan tusukanpisau. Media massa sibuk, menuju tempat kejadian perkara. Tak ketinggalan media massa tempat Iwan bekerja.
Kepolisian menunjukan cirri khas laki-laki yang mereka temukan. Tubuh kurus. Tingginya sekitar 170cm. Di mukanya penuh dengan bulu-bulu, yaitu bercambang. Di matanya, terdapat serpihan-serpihan kaca bekas suatu pukulan keras. Maka Pimpinan Redaksi pun tertunduk lemas. Iwan. Kau telah tiada. Anak Ku. Tenanglah engkau. Kami akn mengenang kesaksian Mu.
Media massa sibuk membuat berita Iwan. Dulu Iwan yang mencari berita. Kini Iwan yang menjadi berita. Bahkan beberapa koran mengangkat misteri kematian sebagai lapora utama mereka. “Misteri Kematian Iwan”. Ada juga yang menulis “Iwan Sang Pennyaksi Telah Tiada”. Begitulah ulasan-ulasan pers.
Berita duka kalangan pers. Penyaksi kehidupan. Sang penulis pejuang dari kata-kata. Telah mati. Tapi buka matinya kesaksian. Bukan matinya keadilan. Matinya Iwan. Maka tubuh tumbuh seratus Iwan-Iwan lainnya.
Siapa pelaku atas kematian Iwan, tak dapat terungkapkan. Mungkin ini sudah ada rencana sebelumnya.

Untuk mengenang Almarhum Udin,
Wartawan Bernas Yokyakarta



0 comments: