Sejemput
Cerpen : Andra S Kelana
PAK Ngok, bersandar di haluan perahu yang ditungganginya, dikayuh dan didayungnya setiap hari. Termenung, lantaran tanah sejemput. Pak Ngok tersenyum, bermimpi akan menjadi orang kaya, gara-gara tanah sejemput.
Semenara, di hadapannya, tegak berdiri bukit Tanjung Tuan negeri jiran. Empasan ombak Selat Malaka menina-bobokan Pak Ngok. Dalam kelelapan, yang diayunkan riaknya gelombang, orangtua satu ini berharap dapatkan mimpi jadi orang kaya, walau hanya sebentar.
Pak Ngok tidak hanya mengigau di siang bolong, kalau ia jadi orang kaya. Ketika jembatan Rupat dengan Lingga terbentang menapak Selat Malaka, tapi dia ingin jadi orang terkenal, seperti Sakai di bawah bawang-bawang pipa minyak. Bonai, tak dapat tebarkan jaring-jaring, di mana ikan-ikan di laut hanya menanti hari-harikematian, di mana laut telah dicemari kotoran minyak.


Bila orang berceloteh dengan kemunafikan atas tanah sejemput bisa membuat Pak Ngok kaya,. Dia, gundah gulana. Ingin rasanya dia menetak, membacok atau membawa ke pengadilan negeri atau pengadilan negeri apatah, bila orang mengejekigauan jadi orang kaya.
Begitu juga Dolah, si anak semata wayang yang tidak pernah dijadikan wayang oleh Pak Ngok, yang telah beranak pinak di rumah orang tuanya sendiri, tak kuasa mensensor mimpi abah-nya, bagaikan kerasukan. Apalagi setelah pernah berjabat tangan dengan Encik Tun Datuk Azam bulan lalu, yang telah menjanjikan tanah Pak Ngok akan dibeli dengan ringgit. Jumlahnya tak tahulah.
Pak Ngok, di kampung itu bukanlah orang kaya. Tidak pula tuan tanah. Dia hanya memiliki tanah sejemput, peninggalan orang tuanya yang bersebelahan dengan tempat pemakaman umum (TPU).
Dulunya, tanah itu cukup luas, tetapi orang tua Pak Ngok, kakeknya Dolah, cucu dari sekian anak Dolah, telah menghibahkan sebagian tanah tersebut untuk perkuburan umum. Termasuklah kuburan orangnya sendiri.
Itupun mau dijual Pak Ngok, kepada encik-encik di negeri jiran seperti yang telah dijanjikan tempo dulu. Siapapun tak dapat menghalang niat Pak Ngok untuk menjual tanah. Begitu juga penghulu kampung Nasir atau sesepuh adat Wak Bujang. Bahkan orang tuanya Pak Ngok sendiri, Tuk Tengah --namanya, terus menghantui tidur-tidurnya, tetapi tekad tetap.
Seperti mimpi Jumat malam, sehingga membuat napas Pak Ngok tersendat-sendat.
''Sumpah, rasa nak mampus aku dibuat mimpi ini,'' umpat Pak Ngok, ketika terbangun dari mimpi. Mimpi Pak Ngok tidaklah begitu sadis, seperti orang yang bermimpi dikejar-kejar hantu dalam film ''Pembalasan Hantu Kuburan'' atau film horor lainnya.
Pak Ngok hanya memimpikan abahnya atau kakeknya Dolah datang padanya, kalaulah tanah itu merupakan titisan dari orang tuanyadulu, kakeknya Pak Ngok, moyangnya Dolah. Boleh dikatakan, tanah pusaka, kata orang kampung, ''kualat'' bila dijualnya. Jumpalah, dengan aku teriak Pak Ngok.
''Ngok,'' ungkap orangtuanya. ''Suatu ketika, abah berjumpa dengan kakek mu. Dia duduk bersandar di pohon kelapa yang engkau tanam di sudut tanah ini. Dia menatapi laut Selat Malaka, sepertijuga engkau. Di mana gelombang pasang, empaskan harapan penjala ikan, sama seperti engkau,'' ucap abah Pak Ngok.
Tapi celoteh abahnya itu membuat Pak Ngok tidak mengerti arti dan makna yang tersirat maupun tersurat. Memang dasarnya Pak Ngok yang tidak mau sekolah, walaupun wajib belajar belum sampai ke kampungnya.
Matanya redup, terkebil-kebil menikmati lambaian jari-jemari niur kelapa. Lantas, orangtuanya terus berkata, ''Tetapi, kakekmu, tergelepak dengan kepala berlumuran darah karena tertimpa kelapa yang engkau tanam,'' kata abahnya, yang membuat Pak Ngok semakin tak mengerti sama sekali. Hingga gunda-gulana hatinya, bagaimana dia harus pergi dari orangtua dalam impinya.
''Tak perlu kau berisau hati. Sebenteer lagi abahmu ini akan pergi juga. Tapi perlu kau ingat, kakekmu mati karena kelapa yang engkau tanam itu,'' ucap abahnya lagi, dan kemudian pergi meninggalkan Pak Ngok. Seketika itu juga dia terbangun dari mimpi, ketika perahunya telah terdampar di pantai pasir putih.
***
Pak Ngok pulang ke rumah dari melaut. Sebelum pulang ke rumah, tanah sejemput peninggalan warisan dari sang kakek dipandanginya. Tidak seperti hari-hari biasa, di mana tanah sejemput miliknya itu merupakan tempat lalu lalang Pak Ngok, bila pergi ke laut atawa ke rumah temannya. Dia tidak merasa ketakutan bila melinta�
si kuburan ketika malam kelam telah tiba.
Dia memandangi tanah itu dengan seksama, seakan-akan berdialog dengan sang tanah. Terlihat mulutnya komat-kamit, entah apa yang dikatakannya.
''Bursss,'' Air menyebur dari mulut Pak Ngok, muncrat ke tanah milik orangtuannya. Rupanya Pak Ngok telah membaca jampi-jampi, entah untuk siapa.
Matanya bundar dan memerah, karena percikan air laut yang mengandung garam. Kulitnya hitam-kelam, akibat iritasi matahari. Dia memandang lurus ke depan, tepatnya di titik derjat pohon kelapa, yang entah mengapa, hanya tumbuh satu batang. Mulutnya tetap berkomat-kamit. Kemudian air yang ada di mulutnya disemburkan ke luar, ''burss''. Sedangkan sisanya, masih bersemberautan di bibirnya yang menghitam karena rokok buatan Malaysia.
Setelah usai upacara kecil-kecilan itu, barulah Pak Ngok hengkang dari tanah sejemput peninggalan orangtuanya. Yang kuburan abah dan kakeknya saling berdekatan. Selain itu, hanya dihuni satu pohon kelapa yang telah berumur sekian tahun pula.
Dia tinggalkan tanah warisan, dengan suatu harapan, janganlah mimpi-mimpi yang membuat dirinya tak mengerti, tak dapat di cerna oleh otaknya, yang hanya pernah mengecap pendidikan di sekolah rakyat (SR). Itupun di zaman penjajahan Nederland.
''Orang tua, terlampau banyak pepatah, petitihnya,'' geruntuknya, sambil meninggalkan tanah-tanah impian, walaupun hanya sejemput.
Dalam perjalanan pulang, tak satu pun teguran orang-orang di sahutnya. Pak Ngok terus menyelonong, melajukan langkahnya. Dia engan berbual-bual dengan orang, padahal di kampung itu Pak Ngok sangat dikenal dengan bualnya, terutama cerita joget Melayu di Dabo Singkep sehingga dapat berkenalan dengan Siti Hawa di lokasi joget.
Cerita yang paling digemari Pak Ngok, makan gulai tempoyak durian ikan Sembilang di Bengkalis bersama dengan sahabatnya Cik Ggu Gapar ynag telah jadi guru. Cerita Pak Ngok, setelah merasa gulai tempoyak durian ikan Sembilang, Pak Ngok langsung makan empat piring. Apalagi, istri sahabat kental Cik Gu Gapar, mantan pacarnya dulu, yang juga bekas joget, Siti Hawa namanya.
Tidak hanya tegur sapa orang kampung. Di kedai kopi tempat biasa mengutang dan berbual-bual, juga tak dikunjungi Pak Ngok. Padahal kawan-kawan satu profesi melaut sudah menunggu kehadirannya.
Biasanya mereka bercerita masalah angin utara yang mengurangi pendapatan mereka, cerita tentang harga ikan yang turun akibat permainan harga oleh KUD Trisakti dengan pedagang atau cerita lainnya. Bahkan masalah tanah pun pernah diceritakan Pak Ngok.
***
SUDAH berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Pak Ngok tidak pernah mengayuh sampannya, tebarkan jaringnya. Sauh, perahunya tak pernah lengket di pasir. Begitu juga ke warung tempat biasa Pak Ngok ngutang secangkir kopi. Hari-hari Pak Ngok hanya menanti kehadiran encik-encik yang akan membeli tanahnya. Seperti hari itu juga.
''Sudahlah bah, tidak perlu abah berpikir panjang bagaimana cara menjual tanah tersebut. Apalagi tanah itu, satu-satunya warisan kakek saya yang kelak mungkin jadi warisan untuk cucu abah,'' kata Dolah anaknya pada suatu ketika.
''Mike budak-budak, tahu apa soal warisan orangtua. Ini tanah untuk aku. Soal cucu men-cucu, pandai-pandai kalianlah sebagai orangtuanya. Apakah akan meninggalkan warisan atau utang sama sekali. Tak mungkin aku pula yang meninggalkan warisan kepada cucu-cucu aku. Dasar budak-buda tak sadar untung,'' marah Pak Ngok kepada anaknya Dolah.
Padan rasanya muka Dolah. Tetapi apa hendaknya dikatakan, bila orangtua sudah demikian, tak bolehlah menjawab secuilpun. Takut kualat nantinya, maklum dedap budak durhaka sudah banyak ceritanya.
''Terserah abahlah. Mau jual tanah sejemput itu, jualah. Kami tak akan meminta se-sen-pun dari abah. Tulang saya masih tetap telap memberi anak-bini makan, buat ape mengemis-ngemis dengan abah,'' ketus Dolah berlalu dihadapan orangtuanya.
Hari kehari Pak Ngok terus menanti saatnya encik-encik tersebut akan mengukur tanahnya. Semeter dua meter, seringgit atau seribu. Penantian tak kunjung datang. Sementara kerja lautnya, berlepakan di rumah, seperti halnya jaring. Sampan telah dimakan kapang pula di pasir putih.
Tak hanya Dolah selaku anak, yang melihat tabiat abahnya berputar seratus delapan puluh derjat. Orang kampung pun merasakan kehilangan orangtua ini. Orangtua selalu tegur sapa, ramah senyum, orang tua pembual di warung kopi, bila melaut tak dikunjunginya.
Sementara itu, temannya sang laut bertanya, ombak yang mengombang-ambing perahu Pak Ngok juga bertanya, angin yang bertindak sebagai mesin perahu pun bertanya, akupun bertanya,. Kemana perginya orangtua yang selalu tebarkan benang-benag nilun ke laut. Nan selalu tegakan layar. Menyanyikan laut, mendendangkan angin, melantunkan ombak, dengan lagu ''Tanjung Katung Airnya Biru,'' yang telah diubahnya Pulau Rupat airnya biru, tempat Pak Ngok meneberkan jaring.
Tapi, gara-gara tanah sejemput, Pak Ngok selesaikan cerita kita. Dimana Rupat, tanah impian setiap orang di negeri ini, biar mereka terkenal seperti Sakai, Akit dan Talang Mamak.

Pulau Rupat, 1998

0 comments: