Perempuan Pendosa
Cerpen : Andra S Kelana
PEREMPUAN itu beristirahat sebentar di bawah bunga kertas yang tumbuh mekar. Dihapusnya butiran keringat yang mengerintil di pelipis mata dan keningnya. Dan ia tertunduj, menatap ke tanah, yang retak-retak, karena panas bumi.
Di tanah yang belum mendapatkan tetesan air, berserakan bunga kertas merah, putih, kuning. Rontok, karena musim kemarau panjang telah tiba. Bunga-bunga kertas itu berserakan, tak pernah dibersihkan oleh petugas. Selembar, dua lembar bunga itu melayang-layang, hingga di kepala perempuan itu.
Perrmpuan ramping berambut pirang sebahu, tampaknya sedang menggengam luka sayatan sembilu si tangannya. Perempuan yang lelah matanya, tampaknya sedang marah pada dirinya. Ini terlihat dari sorotan mata, bagaikan ingin mengali tanah-tanah di hadapannya. Lalu dia tanam, kesakitan yang menimpa dirinya, atau akan menguburkan tubuhnya hidup-hidup.
Bagaikan seorang penari telanjang, jari perempuan itu lentik, meliuk-liuk memegang sebatang rokok. Lalu, asapnya mengepul ke udara, mencemari atmosfer sekitarnya. Karbondioksida dari rokok itu, melayang-layang bersama angin, menggangu pernafasan bunga kertas, tempat dia bernaung.
‘’Bertahun-tahun aku hidup dengan dunia fantasi, tak terwujud secara pasti. Apakah bulat atau kerempeng. Atau…!’’ Perempuan itu mencoba mengajak berbicara pada baying-bayang dirnya, yang ditimpa lembayung senja keemasan.
‘’Rumah ku, setiap bilik-bilik kamar hotel bermesin pendingin yang menyimpan sepi. Tapi, aku tak pernah merasakan kenikmatan.’’ Kata perempuan yang lelah mata itu, mengajak baying-bayang dirinya untuk bisa berbicara kepadanya. Dan dia dapat mencurahkan isi hatinya.
Sejak menstruasi pertama, perempuan itu terus berkata-kata pada bayangan. Ketika itu, aku duduk dibangku sekolah lanjutan pertama. Anehnya, aku sudah menikmati apa yang namanya bersetubuh dengan kaum lelaki. Hingga seluruh badan ku berkeringat, menahan gejolak nafsu asmara. Pacar pertamaku bernama Acian, anak keturunan Tionghoa.
Waktu tiu, Acian sangat ketakutan setelah mereguk madu ditubuhku. Padahal kami belum menikah, dan memang belum pantas untuk memnjadi seorang rajadan permaisuri sahari. Tetapi perbuatan seperti suami istri tak dapat di hitung dengan jari. Aku benar-benar menjadi perempuan sundal-gatal.
Acian bertanggung jawab, tapi aku menolaknya. Perbuatan itu atas dasar keinginan diriku sendiri, untuk memuaskan nafsu erotisku. Tiak hanya Acian pertama kali, menorehkan benihnya kepadaku, dalam hitungan jari, sudah lima ‘pejantan’ mencoba menyemai kepada dirinya.
‘’Anehnya, Tuhan tidak menghukum aku dengan kehamilan di luar nikah. Dan sampai sekarang aku tidak merasakan apa yang namanya ngidam buah mangga. Atau ngidam hat rusa dari perburuan seorang pangeran. Sehingga, aku terus ingin melakukan persetubuhan, ‘’ perempuan tiu berkata sendirian. Nadanya mulai meninggi.
Sesungguhnya perempuan tiu bagaikan mutiara yang kemilau, cemerlang dengan kemuliaan dan keutamaan. Mutiara tidak akan dipisah-pisahkan tempat penyimpannya.
Tempat penyimpannya selalu terkunci rapat untuk mewaspadainya dari musuh yang dekat dan jangkauan tangan para penghianat.
Perempuan itu sesungguhnya taman yang indah. Memiliki pohon hijau dan warna-warni. Taman tersebut dipagari dan pintunya terkunci sehingga hanya orang yang halal sajalah yang diperrbolehkan masuk melalui pintu yang khusus. Apabila dirobohkan, maka taman itu akan menjadi mainan orang yang suka bermain dan rampasan pada pencuri yang berdosa.
‘’Dan teman tiu adalah diriku sendiri yang kini jadi permainan orang-orang berdosa’’. Perempuan itu menjerit. Suaranya bagaikan memiliki kekuatan bathin, sehingga bunga-bunga kertas berguguran satu demi satu. Dia menangis. Airmatanya mengaliri lekukan di wajahnya.
‘’Aku telah menjadi seorang perempuan pendosa,’’ katanya. Dia terus menangisi dirinya. Dan ratapan itu berhenti, setelah azan magrib sayub-sayub terdengar di telinga. Dia beranjak pulang, meninggalkan bunga kertas berseraka, yang tidak akan pernah dibersihkan oleh petugas.
***
MALAMitu, Marsilam menceritakan pertemuannya dengan perempuan ramping berambut pirang, kepada rekannya Yusuf, Saleh dan Firdaus di warung kopi Bu Ijah, tempat biasa mereka mengutang, bila almanak belum menunjukan tanggal gajian.
‘’Lantas, setelah perempuan itu, apakah kamu bersua dengan perempuan tiu lagiSilam?’’ Tanya Yusuf. Bola mata hitam Yusuf, Saleh, Firdaus, berharap jawaban yang tegas dari Marsilam, dan jika perlu jawaban itu ‘’ya’’.
‘’Benar, aku sengaja mengajaknya ke hotel lagi. Biar dia menuangkan semua dosa-daosa yang pernah ia lakukan kepada ku,’’ ungkap Silam.
Kesucian hatiku yang suci sudah menjadi binasa dan kotor, kata perempuan tiu mengejakan hidupnya. Tetesan racun dari setiap kaum lelaki ke zamzamku telah mendatangkan semua virus-virus mematikan. Kulitnya yang putih, terlihat sekali telah bersemi bercak-bercak merah, hingga ke belahan dadanya.
Pernah aku berpikir, saat malam menyelimuti dunia ini, akankah aku hidup difajar besok. Betapa banyak orang sehat, meninggal dunia tanpa sebab sakit. Apalagi orang sakit seperti aku sekarang ini, akan lebih cepat meninggalkan dunia yang penuh fantasi erotis.
Namun, ketika aku llihat tebaran dolar, rupiah, aku melupakan bahwa aku ini sakit. Bahkan aku berangan-angan panjang, ingin membangun rumah untuk orang tuaku dari hasil erotisku. Aku akan memperbaiki atap-atap sekolah bocor, yang tidak pernah diperbaiki oleh pemerintah.
Penyalkit itu terus datang tiap malam, bila aku terkulai lemas di ranjang, tanpa sehelai benang. Paginya, aku keluar di bilik hotel menuju ke kuburan ku sendiri dengan membawa uang. Uang itu, bagaikan tanah-tanah yang menguburi ku hidup-hidup.
Kini aku tak bisa lagi bererotis di dunia fantasi ini. Aku tak boleh lagi melepaskan satu demi satu benang di tubuhku, sehingga orang akan jelas melihat setiap organ ini. Aku tak bisa menyuguhkan secangkir anggur memabukan kepada laki-laki.
Kenapa?. Butir-butir merah di sekujur tubuhku ini, terus merenggut sisa umurku. Mungkin hidupku tak lama lagi. Aku akan meninggalkan cara hawa nafsuku. Naifnya aku, karena tidak mampu lagi berbuat untuk kebenaran. Untuk berdiri saja, aku sudah tidak mampu lagi.

***
‘’BEGITULAH Suf, Leh, tentang perempuan pendosa yang pernahaku jumpai dua kali dibalik bilik hotel yang telah dianggap sebagai rumahnya,’’ jelas Marsilam.
‘’Tidak! Tidak!. Memang secawan anggur merah itu pernah dia suguhkan kepadaku. Namun, aku tidak sanggup meneguknya. Karena aku takut mabuk. Aku takut penyakit dari anggur itu,’’ tutur Marsilam manyakini teman-temannya.
‘’Bagaimana reaksi perempuan itu ketika engkau menolak tawarannya?’’ Tanya Saleh.
Matanya tengadah ke langit hitam. Kening Marsilam berkerut. Bagaikan hardisk komputer, susuanan otaknya berputar, untuk menjawab pertanyaan rekannya.
‘’Perempuan itu tersentak kaget. Dia murka sekali. Tubuhnya yang memang lunglai, karena darah merah sudah tak kuat untuk mendirikan tubuhnya. Perempuan itu marah dan mengeluarkan perkataan kotor terhadap aku’’.
‘’Apa dia bilang?’’
‘’Tanpa selembar benang di tubuhnya, perempuan itu berdiri, 30 centimeter dari wajahku. Dia berkata, sok bersih kamu. Sok suci kamu. Perempuan itu marah sekali, sehingga dia menapari wajahku. Plak…! Aku kaget sekali,’’ ungkap Marsilam.
‘’Setelah itu dia sadar. Perempuan itu menangisi hidupnya.’’
‘’Aku ini bagaikan alien..!’’ perempuan itu menghujani wajahnya dengan air mata.
‘’Jadi, di manakah perempuan yang katanya menjadi perempuan pendosa itu, Silam?’’ Tanya Yusuf.
‘’Dia telah pergi , menembus langit biru, bersama kereta kuda yang diiringi dosa-dosa dunia yang pernah dia lakukan selama ini.
‘’Maksud engkau..?! Yusuf, Saleh dan Firdaus bertanya serentak, dengan tanda Tanya besar, makna yang tersirat dari perkataan rekannya itu.
‘’Kabarnya dia telah menggali lubang kuburannya sendiri. Dengan membawa kesengsaraannya karena menggumpulkan dosa, perempuan itu meninggal dunia. Virus mematikan terus menggerogoti tubuhnya,’’ jelas Marsilam.
‘’Maksudnya AIDS.’’
‘’Ya, perempuan itu rupanya mengindap AIDS. Parahnya, perempuan itu sudah mendekati sindrom ke empat, tak bisa ditolong lagi dengan medis.’’ Marsilam berucap perlahan, di wajahnya menyimpan ketakutan yang sangat.
‘’Aku sangat bersyukur telah terhindar dari kemautan yang begitu cepat. Seandainya aku teguk apa yang pernah dia berikan kepadaku, mungkin aku juga akan mengikuti jejak langkahnya. Bagaikan cerita alien juga,’’ papar Marsilam.
‘’Apakah engkau aknan menuliskan kisah hidup penderita AIDS di koran kita. Inikan berita hebat yang belum pernah dituliskan media kita sejak terbit?’’ Tanya Firdaus.
‘’Tidak..! aku tidak akan pernah mengurai tinta hitam ku di lembaran koran. Dan itu tak akan pernah!’’ tegas Marsilam.
‘’Kenapa kamu tidak menulisnya. Padahal ini cerita eklusif, Silam,’’ kata Firdaus lagi. ‘’Benar Silam,’’ timbal Saleh.
‘’Aku tidak akan pernah mau menulisnya. Ini adalah dosa perempuan itu, aib perempuan itu. Tak mungkin aku menceritakan aib orang di koran ini. Biarlah dosa dan aibnya dibawa ke dalam kubur bersama jasad dan penyakit AIDS-nya. Jadi aku tidak menulisnya. Titik,’’ tegas Marsilam. ***

0 comments: