EUIS
Cerpen : Andra S Kelana

BELUM satu hari dipekerjakan sebagai pembantu, Euis (18), sudah pergi dari “tuannya”, Bertha, yang tinggal di jalan Sudirman. Padahal Bertha tidak mudah mendapatkan Euis yang dibawanya jauh-jauh dari Kota Kembang Bandung. Niat Bertha mengambil Euis dari salah satu yayasan, untuk membantu adiknya yang baru saja melahirkan sebagai baby sister.
Namun Bertha mungkin tidak terus terang kepada Euis, akan membawanya ke Pekan baru. Setahu Euis, dia diambil dari yayasan yang menampungnnya, bukan ke Pekanbaru, melainkan ke Tasikmalaya sebagaimana perjanjian awal. Setelah sampai di Pekanbaru, Euis terkejut.
“Jauh sekali saya dibawa, dimana sih ini dan kota apa ini Bu Bertha?” aku Euis lugu.
Bertha kehilangan Euis tepat hari pertama Euis bberada di Pekanbaru. Enntah karena apa, Bertha mengaku belum mengetahui sebabnya, Euis tiba-tiba menghilangdi saat dia sedang mandi sore --- ketika itu menjelang maghrib ---- dan penghuni rumah sedang sibuk dalam kamar.


Saat itulah, Euis pergi diam-diam meninggalkan kediaman Bertha. Tak pelak lagi, setelah mengetahui Euis tak ada, Bertha uring-uringan. Dengan kepala yang masih dibalut handuk, dan pakaian sseadanya saja, Bertha keluar mencari Euis dan bertanya ke sana ke mari.
“Euis, mana..! kog pergi tak bilang-bilang,” teriak Bertha kepada seisi rumah.
Awalnya Bertha sudah curiga dengan tetangga-tetangga di sebelahnya. Entah boleh entah tidak, tanpa basa basi Bertha memeriksa rumah tetangga sebelah rumahnya hingga ke dalam kamar.
“Mana tahu si Euis disembunyikan di sana. Saya cari juga di sebalik pintu juga takada. Tapi saya yakin, pasti orang dekat yang mmenampungnya, kalau tidak kemana lagi?’ kisah Bertha dengan nada cukup tinggi.
“Setahu saya, Euis tidak mengantongi uang sepeser pun. Ditambah lagi Euis baru pertama kali menginjak Pekanbaru, lalu ke mana dia akan pergi tanpa seorang pun yang diketahuinya dan yang bisa menolongnya,” ungkap wanita berkulit sawo matang, mengumpat-ngumpat sendirian.
Sementara adiknya, Berthi hanya berdiam diri mendengar celoteh kakaknya. Berthi hanya berfikir, kenapa pusing-pusing memikirkan Euis yang tidak tahu ke mana arahnya.
“Rugi…! Duit saya sudah hilang Rp200 ribu. Rp100 ribu unt5uk uang tebusan di yayasan, Rp100 ribu untuk ongkos dari Bandung ke Pekanbaru.Kalau biaya makannya tak apalah, saya ikhlas saja, ini biayanya macam-macam,”celoteh Bertha sambilmenghembuskan nafasnya.
Sebenarnya, Bertha sadar atas kepergian Euis. Euis pernah mendesaknya agar dikembalikan saja ke Bandung. Tapi Bertha menolak. Karena dia sudah banyak mengeluarkan biaya yang harus dibayar Euis sebelum pulang
Bahkan Euis pernah menanyakan berapa Bertha membayar dengan pekerjaannya. Tapi Bertha tidak menjawab. Bahkan dia mengatakan harus kerja selama setahun dulu, baru memikirkan bayarannya. “ Belum kerja sudah minta gaji,” ucap Bertha mengingat penuturan dirinya kepada Euis.
Mungkin karena emosi tak tertahanka, Bertha juga ingin menemuui dukun ----orang ointar --- yang memnurutnya bisa berbuat apa saja. Bisa menemukan Euis bberada dimana, jika perlu wanita Bandung itu akan diguna-gunakannya.
“Lihat saja, akan saya bawa ke orang pintar, biar sakit dia dan juga orang yang menampungnya. Saya sudah punya alamat, akan saya datangi dia,” ancam Bertha, sambil mengelus dadanya yang mulai sesak menahan gejolak emosi.
Hingga hari ketiga, berita Euis tidak terdengar lagi. Entah karena anjuran “dukun” atau memang niat Bertha ingin mencari pembantu lain di Bandung. Dan Bertha merasa yakin, Euis telah kembali ke Bandung.
***
BERDASARKAN pengakuan Euis, gadis sintal dan semampai dan cukup manis itu, ia merasa tertipu. Apalagi dia selalu mendengar calon tuannya akan membawanya ke Batam. Kendati orang Sunda, sedikit banyaknya Euis pernah mendengar tentang Batam, terutama tentang wanita-wanita malam.
“Mendengar itulah, saya berusaha melarikan diri dari Mbak Bertha. Kepergian diri saya berkat bantuan Berthi, bahhkan Mbak Berthi pulalah menganjurkan saya untuk pergi dari jaringan Bertha,” tutur Euis kepada Intan, teman Berthi.
Mengetahui hal itu, bulu kuduknya sudah berdiri,. Bagaimana jika kabar itu benar-benar menimpanya? Bayangan ketakutan seperti itulah yang mendorong Euis ingin kembali ke Bandung. Tetapi jawaban calon tuannya semakin menakutkan dirinya, yakni kerja setahun dulu baru dibayar.
Padahal, kata Euuis, dia rela bekerja diluar kota kelahirannya untuk membantu kehidupan ekonomi keluarganya yang telah ditinggal ayahnya beberapa tahun lalu. Sebagai anak tertua dan memiliki beberapa orang adik yang masih kecil-kecil dan membutuhkan pendidikan, Euis merasa bertanggung jawab.
Untungnya Euis masih memiliki cukup iman, hingga bayangan-bayangan buruk yang bakal menimpa dirinya jika masih tetap bertahan dengan calon tuannya sekarang, akan terjadi. Dia harus hengkang dari Pekanbaru.
Nasib Euis masih baik, karena ia menemukan orang yang bisa dipercaya mengadukan nasibnya. Kalaupun dia tidak ditolong dengan orang tersebut, dia pun nekad melarikan diri walau tanpa uang sepeser pun.
Mengetahhui hal itu, Intan bberupaya menolong Euis. Setelah mendapat dukungan dari beberapa tetangga dan rekannya Berthi , Euis disembunyikan disuattu tempat secara diam-diam malam itu.
Keesokan harinya, Intan dan kawan-kawan patungan sekitar Rp25.000 per orang untuk mengongkosi Euis. Maka terkumpulah uang hampir terjumlah Rp125.000, yang di perkirakan cukup untuk bekal Euis.
***
KEMANAKAH,aku harus melangkah pagi ini. Sementara orang-orang masih bercanda dengan mimpi. Begitulah gumam dalam hati Bertha. Ketika itu, dia baru keluar dari sebuah diskotik. Sementara, beberapa “inang-inag” dengan sepeda tuanya membawa sayur mencari nafkah.
Ketika lantunan house musik my heart will go on yang dimainkan DJ, dia menari-nari, geleng-gelengkan kepala. Sebutir ekkstasi--- pil maut--- yang telah dicekoki (makan), selintingan rokok dan tegukan air Aqua menemani kehidupan Bertha malam itu. Dia tidak peduli siapa orang di sekelilingnya. Hanya satu ucapannya, “yang penting happy”
Pemandangan prilaku Bertha, juga di benci adiknya Berthi. Dengan keasyikan lantunan house musik, di bawah temaram lampu kelap-kelip, seakan-akan Bertha berada di syurga. Tak peduli, apakah hujan peluru di luar ruangan itu, atau nyawa dirinya sendiri siap dirennggut, dia tidak peduli.
Bertha hanya peduli, kehidupan dia malam itu jangan diganggu oleh problema-problema lainnya. “Persetan Kau Euis. Banyak uang kuhabis hanya untuk kamu,” makinya sambil menghisap rokok.
Tiba-tiba, Bertha dikejutkan oleh seorang om-om.
“Hei.. Bertha, mana cewek Bandung yang engkau janjikan padaku dulu. Kamu pembohong, mucikari bagaimana kamu ini,” ketus Om yang lebih dikenal dengan Husin.
Bertha yang sedari tadi lagi “on’(reaksi obatekstasi)terhentak sejenak. Dia menatap wajah pria gemuk bernama Husin dengan sorot korek api.
“Sorry bos, bukannya aku bohong, tapi wanita itun telah melarikan diri dari aku. Kemarin sudah dirumah, kini tidak ada lagi, pergi entah kemana,” jawab Bertha.
“Ya sudahlah, aku tak pernah berhubungan saya kamu lagi, “ kata Husin yang membuat hati Bertha bertambah panas mendengarnya. Dan bertambah murka pulalah dia terhadap Euis.
“Bangsat itu anak. Mudah-mudahan dia mampus!” umpatnya dalam hati, lalu dia pergi dekat bertender dan meneguk satu gelas minuman keras.
Alangkah sedihnya melihat pemandangan seperti ini. Manusia seakan-akan menjadi “gila” hanya sebutir zat kimia yang dibuat orang Belanda ataupun dibuat orang dari kebun-kebun, yang telah merangsang sel-sel syarafnya. Itulah yang dikerjakan Bertha, tiap malam minggunya.
Hanya sebutir obat yang namanya ekstasi merk Titanic Play boy, Mahkota dan 151 merk ekstasi lainnya, Bertha, Ninin mereka tak sadarkan diri. Mereka menari-nari, jingkraksana, jingkrak sini,. Terkadang, kepalanya geleng-geleng seperti orang melakukan zikir, sejak pukul 21.00 hingga pukul 06.00 esok harinya. Penatkah Bertha? Penatkah Nini?
Tidak! Bertha dan Ninin merasa penat bila reaksi zat kimia yang merangsang syarafnya terhenti, dalam istilah anak-anak diskotik, “ngedrop” alias “of”. Seluruh tubuhnya pegal-pegal, badannya berkeringat, dan tangannya terasa dingin dadn sedikit gemetaran. Gigi-gigi terasa rapat, sulit membukakannya.
Akibatnya, Bertha tidak bisa makan pagi. Jangankan makan, tidurpun tak bisa, bahkan telingganya terasa pekak, akibat hentakan keras musik room. Fatalnya lagi, apabila Bertha mengalami “on berat” (lagi, dalam istilah diskotik), perut mual-mual, dan ingin muntah-muntah, tapi tidak bisa.
Bahkan, menurutnya, dari pagi hingga malam harinya, badannya terasa remuk, pegal-pegal. Dia berniat tak akan mengulangi pekerjaan itu. Entah kenapa tetap dia lakukan. Anehnya, dia mengetahui akibat negatif dari perbuatannya. Dia sadar akibat yang timbul dari sebutir benda bulat, tapi entah kemana tiap malam minggu, kadang-kadang lengser ke hari lainnya Bertha selalu “on-of’ . Lagi-lagi hanya satu alasannya, pusing memikirkan dunia ini.
Usai pesta musik dan eksrast semalam suntuk, sekitar pukul 05.00 WIB paginya, dia keluar dari sebbuah diskotik. Sementara beberapa orang mengayuh sepeda tua dan berboncengkan sayur-sayur untuk makanan Bertha. Kadangkalanya, dia terteggun sejenak melihat pemandangan itu. “ Orang keluar mencari nafkah dan duit, kita keluar manghamburkan uang,” tuturnya kepada rekan-rekan lain.
***
HARI-HARI Bertha hanya diisi bagaimana mencari kesenangan hidup, dengan menegak satu butir pil setan yang bernama ekstasi. Akibatnya karena kecanduan obat terlarang, Bertha menjadi ketagihan, dan berakibat fatal baginya.
Mati! Ya Bertha mati karena over dosis menelan pil ekstasi dalam jumlah yang banyak. Nyawab tak dapat tertolong lagi oleh tim medis. Berita kematian Bertha, menjadi headline koran-koran, baik daerah maupun nasional. “Bertha, Tewas Over Dosis”. Begitulah bunyi berita di koran-koran.
Berita kematian Bertha, akhirnya diketahui juga oleh Euis yang bekerja di sebuah pabrik elektronik di Batam. Ketika koran pagi daerah itu memuat berita dan gambar Bertha., Euis hanya bisa bersedih hati, tapi dalam hatinya, dia merasa bersyukur.
“Jika aku terlibat dalam dunia hitam ini, mungkin aku akan bernasib sama DENGAN Mbak Bertha. Terimakasih Tuhan, Engkau telah menyelamatkan diri aku dari segala bahaya, “gumam Euis dalam hati.


0 comments: